Ziarah pada Kehilangan, dan Perjalanan Menjenguk Masa Lalu

Sejak perjumpaan awal lewat “Catatan Hari Berkabung dan Satu Mata Sapi yang Menyedihkan” di Biennale Jogja XV 2019, Equator #5: Indonesia with Southeast Asia, Suvi Wahyudianto membekaskan kepala saya kepada puisi dalam bentuk visual. Bagaimana komposisi antar medium yang ia gunakan menyusun bahasa rawan untuk kita saat melihat karyanya. Plat besi berkarat dan bentuk-bentuk yang rentan, menjadi ingatan saya kepada Suvi.


Ketika menyaksikan karya instalasi terbarunya, “Landscape Ziarah pada Kehilangan” yang hadir dalam ARTJOG MMXII - Arts in Common: Expanding Awareness, 2022. Suvi kembali muncul dengan kerentanan yang bakal mengusik pengamatan kita. Tiga artefak besi setinggi lutut di antara ruang putih bersih, akan membuat kita terpaku pada posisinya yang miring. Sebuah foto print hampir jatuh di atasnya, namun batu berat menyanggah kemungkinan itu terjadi. Bila lebih detail lagi, pengunjung akan mendapati foto itu sebagai kolase yang disatukan oleh jahitan. 


Foto-foto itu adalah potret orang Madura yang ditambalkan di atas lanskap kota Sambas. Suvi menerapkan intervensinya sebagai metafora seniman dengan menggunakan teknik medis untuk menjahit luka pada kolase itu. Sebuah keinginan menyembuhkan gempil masa lalu adalah narasi di balik karya tersebut. “Karya itu ada dua image, image yang pertama sebagai latar adalah wilayah Sambas. Kemudian yang di depan, yang ada siluet tubuhku tapi sebenarnya di dalam siluet itu adalah wajah-wajah mereka yang sampai dengan hari ini masih tinggal di relokasi; mereka adalah orang-orang Madura yang dipindahkan ke Kubu Raya,” kata Suvi menerangkan karyanya.


Seperti yang kita tahu, Sambas dan sebagian daerah di Kalimantan punya memori konflik etnis melibatkan transmigran Madura dan masyarakat asal. Masalah sosial itu awalnya dipicu oleh adanya kesenjangan antara pendatang dan penduduk setempat, termasuk kepemilikan ruang hidup. Yang kemudian menjadi aksi massa, dan membuat orang-orang Madura dideportasi hingga dilarang memasuki kota itu kembali. Narasi tersebut kemudian diselami lebih jauh oleh Suvi dengan melakukan residensi ke Kota Sambas dan Madani.


“Aku mengunjungi kota itu dulu di 2019. Yang aku lihat di relokasi yang bernama Madani itu, aku pikir itu adalah kota yang dibangun atas nama kehilangan. Aku datang ke kota itu membawa kehilanganku secara pribadi. Tapi ketika mengunjungi tempat itu aku punya tafsir yang berbeda. Ini sebuah kota, sebuah kota yang dimana penduduknya, semuanya memiliki kehilangan atau mengalami kehilangan.” 


Di sana Suvi mendengar bagaimana orang-orang Madura yang menghuni relokasi kini tak memiliki apa-apa lagi. Semuanya telah terambil dan tercerabut pasca konflik di tahun 1999. Harta benda mereka tinggalkan, bahkan sanak-kadang ada yang tertahan di sana. Yang akhirnya membuat mereka tidak pernah bisa menziarahi makamnya, pun tidak tahu saudara-saudaranya dikebumikan dengan layak atau tidak. 


Selain menunjukkan politik identitas yang bergesekan, bergulir, dan kemudian fluid pada akhirnya. “Landscape Ziarah pada Kehilangan” juga tampil sebagai presentasi seniman menguji teritori identitas pada tubuhnya, “Sebenarnya di 2019 aku diam-diam pergi ke Sambas. Menutupi identitasku sebagai seorang Madura, dan memilih ruang-ruang yang bagiku akan menguji limitasi batas tubuhku,” tutur Suvi menceritakan bagaimana ia memasuki Kota Sambas.


“Mengapa judulnya Landscape Ziarah pada Kehilangan, orang Madura itu punya kebiasaan untuk zairah. Mendoakan di pusara tiap malam Jumat. Tapi itu sudah tidak bisa terjadi lagi, karena politik identitas itu tadi. Pasca konflik kami sudah tidak bisa pergi ke Sambas, yang kami lakukan adalah berdoa dari jauh. Kami merindukan satu hal, yaitu berziarah, mengunjungi leluhur kami yang tertanam di sana.”


Di sini kita mendapati Suvi sebagai generasi sekarang dalam melihat persoalan masa lalu, dan tafsirnya terhadap trauma. Dengan memadukan unsur benda keras, seperti besi dan batu, dihadapkan pada kertas yang rapuh. Karyanya mendorong kita untuk mengambil posisi sebagai manusia, merasakan perasaan tidak tenang di sana, menggantung harapan di situasi yang nyaris dan bimbang. Kita seperti melihat si seniman berbicara sebagaimana fungsi batu pada karyanya: menahan ingatan agar merekonsiliasi retakannya.


Kehilangan, sesuatu yang telah pergi, digambarkan oleh Suvi layaknya seseorang bertutur melalui cerita. Hal itu salah satunya dapat dilihat dari lanskap-lanskap Kota Sambas yang dipilih sebagai latar karyanya. Potret terminal adalah bagian yang paling berbunyi di sana, tempat dimana bus-bus mengangkut orang keluar masuk dari sebuah kota, termasuk kenangan yang mereka bawa datang dan pergi silih berganti. Sebuah border visual yang menjelaskan betapa ringkihnya kita menghadapi kepergian.


Suvi begitu naratif menyampaikan gagasan-gagasannya, bagaimana dia menghadirkan kehilangan itu muncul dan terbaca amat dekat: membuat kita terdampar pada ingatan kita sendiri, mengenang sesuatu yang tergulung di waktu belakang. Saya, Suvi, dan mungkin siapa saja yang merasa tersangkut di masa lalu, kita bersolidaritas dalam kehilangan.