Menyebarkan Virus Seni Rupa bersama Mencuri Raden Saleh

Pada akhir Agustus lalu dunia seni rupa sedang dihebohkan dengan ramainya poster film terbaru sineas Angga Dwimas Sasongko berjudul Mencuri Raden Saleh. Saya dan beberapa teman di Jogja sudah merencanakan, apabila film ini resmi tayang kami akan nonton bersama untuk ikut mengapresiasi. 


Tentunya saya sangat bersemangat karena ini pertama kalinya film yang bersinggungan dengan seni rupa benar-benar digarap oleh rumah produksi ternama yaitu Visinema. Rekam jejak karya rumah produksi ini tidak perlu dipertanyakan lagi, contohnya Filosofi Kopi (2015), Surat dari Praha (2016) dan Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020). Film terbarunya ini menarik bagi kalangan seni-senian karena membahas karya bapak seni lukis modern Indonesia. Jajaran cast yang dibawa cukup meyakinkan untuk mendulang kesuksesan selama pemutaran.


Pernah Memandang Sebelah Mata Karya Sineas Indonesia


Sebenarnya saya sering ragu untuk nonton film Indonesia, mungkin karena ekspektasi saya yang pernah tidak sesuai realita. Bisa juga terpengaruh sinetron yang cringe dengan episode ratusan, yang katanya lulus sensor tapi banyak yang bocor. 


Misalnya ada film terbaru yang sedang viral, saya wajib nonton trailer dan minta spoiler dari teman yang sudah duluan nonton. Namun, treatment saya akan sedikit berbeda untuk film Mencuri Raden Saleh, mungkin sedikit berbeda. Meskipun film ini nantinya tidak memenuhi ekspektasi, saya wajib tonton karena begitu relate dengan keseharian dalam dunia seni rupa. Sepertinya fenomena FOMO (Fear of Missing Out) karena sosial media benar adanya.


Sempat terpikir apakah film tentang seni rupa seperti ini bisa diterima masyarakat luas? Apa mereka kenal siapa Raden Saleh? Apa film genre heist ini nantinya akan dibanding-bandingkan dengan banyaknya rujukan film serupa yang sukses sebelumnya?


Menonton Para Pencuri Amatir


Semua rasa penasaran itu terbayarkan setelah meluangkan waktu menonton di CGV Hartono Mall bersama 6 teman lainnya. Film ini berhasil mematahkan keraguan, bahkan melebihi ekspektasi. Sepanjang penayangan, tidak ada part yang membuat saya merasa bosan atau kasihan atas pembagian peran yang biasanya dominan pada pemeran utamanya. Semua terlihat sama rata dan punya bagian terbaik untuk aksinya masing-masing. Apalagi setiap adegan melukis dan meretas internet, ini paling keren.


Penonton akan dikenalkan dengan Piko yang diperankan oleh Iqbal Ramadan, diceritakan sebagai seorang mahasiswa seni rupa yang memiliki bakat melukis dan meniru karya maestro, cita-citanya ingin pameran di Museum of Modern Art (MoMA). Ayahnya sedang dipenjara dan butuh dana untuk bisa kembali menuntut keadilan, dari sinilah salah satu alasan mengapa film ini ada. Lalu ada Ucup (Angga Yunanda) seorang hacker yang mumpuni dan seorang penawar yang ulung. Umay Shahab dan Ari Irham, mereka memerankan Gofar dan Tuktuk, saudara tiri beda ibu yang bisa diandalkan dalam dunia otomotif dan balapan. Rachel Amanda sebagai Fella, anak orang kaya yang selama ini aktif menjadi seorang bandar judi, jago menganalisis dan menciptakan strategi untuk melancarkan aksi pencurian mereka. Terakhir ada Aghniny Haque berperan sebagai Sarah, pacar Piko ini merupakan atlet silat, aksi laganya jadi bagian paling saya tunggu.


Film ini dimulai dengan Piko yang sedang memalsukan karya seniman Widayat yang berjudul Hutan Rimba, nantinya lukisan ini akan dijual ke rumah lelang dengan bid harga yang fantastis. Tokoh antagonis dimunculkan pada part ini yaitu sosok Permadi (Tio Pakusadewo) yang berperan sebagai mantan presiden yang ambisius dan manipulatif. Beberapa menit di awal saja kita sudah diajak berkenalan dengan sisi gelap dunia seni rupa seperti pemalsuan, pencurian, penjualan karya palsu hingga politik kuasa.


Sebagai seseorang yang pernah kuliah seni rupa, banyak permasalahan hidup Piko tampak akrab dengan realita hidup sebagai seniman, salah satunya berkutat dengan stigma tidak baik di masyarakat. Ada juga terselip tentang permasalahan ekonomi, kesetiakawanan, perkuliahan, konflik keluarga dan tentunya bumbu-bumbu cinta anak muda.


Dari sisi ekosistem seni, film ini ikut memperkenalkan stakeholder seperti rumah lelang, galeri, kolektor, kurator dan art dealer.  Selain para pemangku kepentingan dunia seni, penonton akan banyak mendengar nama seniman Indonesia yang selama ini jarang dikenal khalayak umum seperti Affandi, Widayat, Lee Man Fong, Jeihan, Sunaryo, Hendra gunawan, Sudjojono dan Agus Suwage.


Penonton juga turut dikenalkan dengan karya Raden Saleh selain “Penangkapan Pangeran Diponegoro” yang akan menjadi opsi target pemalsuan selanjutnya yaitu “Potret Sultan dan Pejabat VOC” dan "Penunggang Kuda.” Dari sini kita diberi fakta tentangnya minim dan pentingnya arsip karya seniman, karena informasi yang terbatas tersebut memudahkan oknum-oknum seperti Piko untuk beraksi. 


Tidak ketinggalan zaman, film berdurasi 2 Jam 34 Menit ini juga memperjelas penjualan karya seni yang tidak lagi bertransaksi konvensional namun sudah menggunakan kripto currency. Aksi pencurian para amatir ditutup dengan adegan pengkhianatan oleh ayah Piko yang telah kabur dari penjara, ia mencuri lukisan yang sudah susah payah direncanakan oleh tim. Plot twist lainnya adalah para anak muda ini berhasil menukar karya yang dibawa ayah Piko dengan lukisan Agus Suwage, setelah terpikir untuk menciptakan Plan B dari kata “Kontingensi.”


Sang Master Mind Pencurian yang Sesungguhnya


Kalau dalam adegan film, Ucup layak disematkan sebagai sang mastermind atas aksi mereka. Namun mastermind yang sesungguhnya dalam dunia nyata adalah Angga sendiri. Pria berusia 37 tahun ini menciptakan film bukan sekadar mengikuti tren terkini saja, pada tiap bagian cerita terlihat bagaimana keseriusan Angga dengan melakukan riset yang panjang atas minatnya yang tinggi dalam dunia seni.


Pada video YouTube Blueprint: Making of Mencuri Raden Saleh yang diunggah Visinema Pictures, Angga bercerita tentang latar belakang seni keluarganya. Ayahnya ternyata sangat akrab dengan dunia lukis, memiliki banyak teman yang berprofesi sebagai seniman. Beliau memiliki circle pertemanan yang luas dan suporter pelukis-pelukis muda lokal. Banyak dari rekan seniman berkunjung dengan membawa hasil karya lukis mereka untuk dipajang di rumah mereka, salah satunya adalah lukisan Widayat yang dimunculkan sebagai opening yang memorable. Bagi Angga, lukisan Widayat memiliki posisi istimewa, layaknya sebuah amanah, lukisan ini dirawat bahkan direstorasi oleh para profesional, karena merupakan bagian dari memori dan prasasti keluarga.


Apakah Film Ini Berhasil?


Saya memposisikan diri sebagai penonton biasa di luar dari pembahasan seni rupa. Sebagai orang awam saja saya bisa memprediksi karya Angga ini menghabiskan budget yang besar dalam pembuatannya. Totalitas benar-benar terlihat pada banyak adegan seperti balapan di kota tua, menghadirkan adegan macet-macetan di tengah kota,  yang tentunya membutuhkan banyak izin dan waktu yang terbatas. Para aktor dan aktris film ini juga bisa menjiwai setiap profesi yang diperankannya, terutama Iqbal Ramadhan. Saya pernah baca pada satu artikel, Iqbal bahkan belajar melukis dan mengamati seniman di Kota Jogja demi menciptakan kesan pelukis otentik.


Memperkenalkan seni rupa melalui layar sinema dengan target pasar utamanya Generasi Z menurut saya sudah berhasil. Antusiasme bisa terlihat dari jumlah penonton yang menembus angka 2.000.000++. Rasa penasaran mungkin akan muncul setelah menonton ini, seperti mengulik lebih dalam tentang siapa Raden Saleh, kenapa lukisannya seharga 150 miliar, seberapa penting karya ini untuk sejarah negara maupun sejarah seni rupa Indonesia. Pilihan cast seperti Iqbal dan kawan-kawan saja sudah benar-benar mewakili ketertarikan anak muda untuk menonton, bahasanya yang mudah dipahami juga aksi-aksi menarik yang tidak terkesan dipaksa atau cringe.


Sekilas Tentang Sejarah Lukisan 


Apabila penonton pernah membaca tentang buku Raden Saleh, pasti akan sangat mudah memahami bahwa setiap adegan-adegan yang dibawa Angga Dwimas Sasongko terinspirasi dari latar terciptanya lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro,” kata kuncinya adalah kelas sosial, perlawanan dan pengkhianatan.


Lukisan Raden Saleh “Penangkapan Pangeran Diponegoro” sendiri merupakan bentuk penghormatan kepada Pangeran Diponegoro sekaligus bentuk rasa nasionalismenya saat itu. Karya ini penting sebagai rekaman historis dan artefak dari Perang Jawa, pengkhianatan pimpinan Belanda yang awalnya ingin berunding malah berakhir penangkapan.


Lukisan ini memiliki versi lain, dengan momen yang sama namun sudut pandang yang berbeda, antara pelukis kolonial dengan pribumi. Pelukis Belanda Nicolaas Pieneman menciptakan lukisan berjudul “De Onderwerping van Diepo Negoro aan Luitenant-generaal de Kock, 28 Maart 1830” yang menceritakan bagaimana Pangeran Diponegoro ditaklukkan. Karya milik Raden Saleh sendiri dilukis 27 tahun kemudian saat situasi politik sudah mendingin. Lukisan ini dihadiahkan Raden Saleh kepada Raja Belanda Willem III sebagai balas budi telah disekolahkan selama puluhan tahun di Eropa. Siapa sangka di balik sebuah lukisan ini terselip sebuah kritikan atas peristiwa sejarah.


Pada lukisan versi Pieneman, ia mengemas suasana yang bertolak belakang sebagai manifestasi kemenangan Belanda atas tertangkapnya pemimpin Perang Jawa. suasana yang penuh kepasrahan Pangeran Diponegoro berbanding terbalik  dengan Jenderal de Kock yang dianggap sebagai pahlawan. Posisi Jenderal de Kock yang berada di bagian atas tangga mengisyaratkan hierarki status sosial antara penjajah dan rakyat negeri jajahan. Tangan Pangeran Diponegoro tampak terkulai, pandangan dan suasana tampak hampa. Sebaliknya, Jenderal De Kock dibuat tampak gagah dan bahasa tubuh yang memerintah.


Hal kontras ditunjukkan oleh versi Raden Saleh, berbagai hal diubah secara sadar dan bentuk menunjukkan sikap. Mulai dari judul karya, kata ‘Penaklukan’ pada “De Onderwerping van Diepo Negoro aan Luitenant-generaal De Kock, 28 Maart 1830” menjadi ‘Penangkapan’ yaitu “De Gevangenneming van Prins Diponegoro door Generaal de Kock.” Pangeran Diponegoro dilukis dengan ekspresi wajah yang geram disertai kepalan tangan yang menahan amarah. Bahasa tubuh Jendral de Kock dibuat lebih halus dengan gestur telapak tangan terbuka sebagai representasi kesopanan. Posisi berdiri  pada anak tangga sama, sebagai bentuk kesetaraan. Ada satu hal yang mengganjal pada bentuk tubuh orang-orang Belanda yang tidak proporsional, tubuh yang kerdil dan kepala besar. Padahal Raden Saleh dikenal dengan kepiawaiannya melukis anatomi tubuh, tentu sebuah kesengajaan.


Lukisan ini pernah tersimpan di Istana Kerajaan Amsterdam, dipidahkan ke Koninklijk Militair Invalindenhuis Broonbek di Aarnhem. Tahun 1987 dikembalikan ke Indonesia sebagai pemberian Kerajaan Belanda pada Pemerintah Indonesia. Sesampainya di Indonesia karya Raden saleh ini dipajang di Museum Pusat Jakarta bersama artefak Perang Jawa hingga akhirnya dipindahkan ke Istana Negara Jakarta.