Monumen Ufo. Foto: Istimewa
Pameran "Weave of Hope" di Kiniko, Yogyakarta. Foto: Istimewa
Karya Ingsun Project di ARKO Festival, Seoul, Korea Selatan. Foto: Istimewa
Pameran Mission X Project. Foto: Istimewa
Tim Ingsun Project di ARKO Fest. Foto: Istimewa
Rasanya
familiar, ketika kita mendengar nama “Ira” disebut di sekitaran obrolan seniman
dan para pegiat seni Indonesia, atau khususnya di Jogja. Irene Agrivina (kadang
tertulis ‘Agrivine’) Widyaningrum (1976), jika seusia kami akan lebih akrab dan
nyaman menyapanya “Mba Ira.” Satu keterangan tentang Ira yang kemudian
bersarang di telinga adalah HONF (House of Natural Fiber). HONF yang berdiri
sejak 1999 ini mendefinisikan dirinya sebagai laboratorium seni media baru dan
teknologi.
Ira
sebagai salah satu pendiri HONF, pada 2013 mengembangkan kolektif di dalamnya
bernama XXLab. XXLab inilah yang menjadi sebuah kolektif yang melibatkan
perempuan di dalam membuat laboratorium kreatif. Melalui XXLab ini pula, Ira
dan seniman-seniman yang terlibat berhasil melakukan banyak eksperimen terhadap
material limbah yang diolah ulang menjadi bahan produktif. Pada tahun 2015, tim
XXLab kala itu (Asa Rahmana, Atinna Rizqiana, Eka
Jayani Ayuningtyas, Irene Agrivina Widyaningrum dan Ratna Djuwita)
berhasil mengolah limbah tahu menjadi karya “BIO/SOYA C(O)U(L)TURE” dan
memenangkan [the next idea] Art and
Technology Grant Voestalpine 2015 dalam ajang “Ars Electronica” di Austria.
Jelang
pertengahan 2022 ini, seiring dengan agenda Jogja
Arts Weeks yang merentang sepanjang Juni hingga September, kami mengamati
giatnya beberapa proyek seni dan kurasi dari Ira. Salah satunya adalah XXLab
yang menghadirkan “Ingsun Project”, demi ditampilkan dalam ARKO Art & Tech
Festival, 11 Agustus – 23 October 2022 di Korea Selatan; dengan tajuk: “The
Fabel of Net in Earth”. Kepada penulis, Mba Ira menceritakan pengalamannya:
“Tadinya aku
residensi di ACC (Asia Culture Center), tahun 2021. Kemudian aku ketemu sama
pihak ARKO, yang kebetulan memang mau bikin festival seni dan teknologi. Mereka
udah riset tentang HONF, dan menawarkan untuk berpartisipasi. Tema dari ARKO
emang menarik, mereka ngomongin tentang metaverse,
lalu mempersoalkan persinggungan barat dan timur dalam soal teknologi.
Itulah kenapa
kolektif kita (XXLab) mengangkat Ingsun,
karena mengangkat hubungan manusia, “subjek aku” dengan entitas lain atau liyan
(other). Nah biasanya ketika kita berhubungan, selalu pakai medium, nah
medium-medium ini yang diangkat menggunakan cutting
edge technology, untuk dipresentasikan dalam festival Seni dan Teknologi di
ARKO Art Center.”
Ira
bersama tim XXLab yang terbaru (Bio Andaru, Dhoni Yudhanto, Gisela Maria, Nona
Yoanisarah dan Yoga Permana) sengaja mengajukan terlebih dahulu konsep Ingsun Project itu sebagai gagasan
aktivasi karyanya. Dalam Ingsun Project
itu pula, XXLab senantiasa menggunakan metode kinerja HONF, yakni ”open
knowledge”, sehingga proses pembuatannya melibatkan publik, termasuk adanya public kitchen. Menarik dicatat, sebelum
berangkat ke Korea Selatan, Ingsun
Project dipresentasikan preposisinya terlebih dahulu dalam pameran Mission X Project.
Pameran
yang berlangsung pada 23 – 30 Juli 2022 di Lembaga Indonesia-Perancis,
Yogyakarta ini menjadi bagian dari “Indonesia UFO Festival” yang juga
diinisiasi oleh HONF. Melalui pameran Mission
X Project tersebut, Ira sebagai kurator, bukan hanya menghadirkan
karya preposisi “Ingsun Project” yang
akan berangkat ke Korea Selatan; namun memilah secara khusus seniman dan
karya-karyanya yang lain. Sehingga muncul karya yang berhubungan dengan gender,
termasuk membuat artcamp bersama
ibu-ibu dan anak-anak. Ira kembali menjelaskan:
“Dalam Mission X itu, karya-karya yang ada
memang bersifat preposisi, atau lebih ke showcase,
jadi karya-karya yang berbasis research
yang sedang berproses, baik dilakukan oleh anak-anak sampai dewasa dan ibu-ibu.
Inilah mengapa kami berupaya inklusif. Mereka yang terlibat diajak mencari
hal-hal yang X, atau terbukti baru, misalnya ibu-ibu yang mengerjakan dengan
materi-materi baru, hingga tema-tema tentang space science itu sendiri. Itu menarik sekali, misalnya ada
anak-anak yang ibunya textile artist,
ternyata seneng banget bermain-main dengan “teknologi”, dari yang keluar
asap-asapnya sampai decoding, ia
sengaja mencari-cari dan belajar dari youtube.
Nah pentingnya Mission X itu di situ ya. Mungkin ke
depannya si anak itu kelak jadi engineer
atau scientist misalnya. Makanya Mission X tadi seperti
mengajak kembali pentingnya penggalian potensi pengetahuan yang belum
diketahui. Termasuk mengenalkan
teknologi dan proses pembuatannya. Nah, inilah bukti pengenalan critical making sejak dini. Hal yang
juga sesuai dengan gagasan utama Ingsun
Project.”
Pameran
Mission X Project sebenarnya juga
bertujuan membersamai simposium di dalam rangkaian “Indonesia UFO Festival”,
yang berlangsung sejak 16 hingga 30 Juli 2022. Festival ini juga melibatkan
banyak kegiatan, termasuk workshop hingga pendirian monument UFO di Padukuhan
Krasaan, Kelurahan Jogotirto, Kepanewonan Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Pendiri HONF selain Ira, Venzha Christ, yang juga selaku
Direktur Indonesia Space Science Society,
menjadi inisiator utama di dalam festival ufo tersebut.
Sepanjang
perhelatan festival ufo tersebut, Ira juga mengritisi persoalan dominasi idiom
dan simbolisasi “maskulin”. Ia merasa bahwa maskulinitas dan agresivitas menjadi bawah
sadar imajinasi dunia penjelajahan teknologi maupun narasi tentang ruang
angkasa. “Kalau saya sebenarnya skepstis, khususnya dalam soal man’s world-nya yang kerasa banget.
Alien kan selalu digambarkan man,
selalu macho gitu ya, padahal kan mungkin genderless
juga. Jadi lewat UFO Festival itu, ketika saya membuat program bersama ibu-ibu
tadi, setidaknya menunjukkan bahwa soal ruang angkasa maupun alien, bukanlah
‘dunia laki-laki’ gitu ya.” Imbuhnya
Ira
pun menegaskan arti penting pendekatan dan perspektif lokal di dalam memaknai
ruang angkasa atau antariksa. Menurutnya, masyarakat di Indonesia tampak telah
terbiasa membayangkan masalah antariksa sebagai bagian yang jauh di luar Indonesia.
Ia pun memaparkan:
“Saya
sebenarnya ingin ada pembacaan lebih lanjut sih, kalau kita bicara antariksa,
mesti imajinasinya macam NASA gitu yang muncul. Padahal di sini ada konteks dan
sejarahnya sendiri, tentang teknologi dan keyakinannya pada “kalau boleh
disebut” alien. Kalau kita kan mungkin semacam keyakinan adanya ‘sang/yang
liyan’. Karena
80 persen dari tubuh kita aja dipenuhi sang liyan, sebenarnya ibarat kata 80
persen diri kita itu alien juga.
Makanya kalau di
bidang space science, karena saya
banyak ranahnya bekerja di bidang biologi, menurut saya, alien itu bentuknya
nggak mesti yang kayak monster. Tapi bisa aja kan bakterial dan mikroba yang
belum kita kenal, katakanlah virus Corona itu ya alien juga kan. Awalnya kita
merasa asing dan latah. Intinya pembahasan tentang hal-hal yang tidak kita
kenal itu masih banyak.
Pasalnya kalau di
NASA sendiri masih berkutat pada space
tech, daripada persepsi tentang sang/yang liyannya itu sendiri. Inilah
kesempatan kita memberi wacana tandingan maupun melengkapi narasi alien yang
amerika-sentris.”
Dalam
upaya terus menggali persepsi teknologis melalui bahasa seni itulah, Ira
kemudian berjumpa dengan beragam potensi seniman maupun pendanaan/funding
internasional. Oleh sebabnya jelang akhir bulan September lalu, Ira secara
khusus mengkurasi sebuah pameran bertajuk “Weave of Hope”. Pameran yang
berlangsung 27 September - 1 Oktober 2022 di Kiniko, Yogyakarta ini disponsori
sekaligus menjadi bagian dari proyek yang diinisiasi 350 asia.
Dalam
pameran tersebut, sejumlah seniman dipilih (sebagian melalui seleksi) berhasil
melibatkan seniman Indonesia, Filipina dan Taiwan. Kesemuanya dikurasi Ira untuk
menampilkan karya, sebagai bentuk keresahan mereka pada krisis iklim. Dari situ
Ira memproyeksikan gerakan artistik berbagi harapan dan solidaritas, bahwa bumi
sedang tidak baik-baik saja. Mba Ira kembali mengemukakan pengalamannya kepada
penulis:
“Saya diminta jadi
kurator, lalu sempat ada perbedaan pengetahuan, mereka itu ngiranya kurator itu
sekedar milih artist, padahal kalau
aku ngga bisa kayak gitu. Aku harus tahu prosesnya dan seterusnya sampai
pameran. Kalau nggak gitu, nanti pamerannya kan garing banget. Terlebih, aku
memang sudah lama kepingin bikin pameran yang sustainable, maksudnya secara material dan trustable, supaya kita tidak banyak menciptakan residu.
Jadi emang dari cara
pemilihan bahan-bahan yang digunakan itu, kita menekankan minimal ya ramah
lingkungan atau at least bisa di-recycle. Untungnya, para perupanya kooperatif
dengan konsep kurasi kita; pertama menyampaikan tentang krisis iklim, kemudian
kedua, mereka sebisa mungkin menampakkan kepedulian lingkungan tadi secara
visual maupun material.”
Keseriusan Ira
melalui kekaryaannya sepanjang karir, utamanya di HONF dengan XXLab, hingga Mission X dan Weaving The Hope, tampaknya menawarkan sebuah preposisi artistik.
Sebab bagi Ira, semua proyek seni bukan persoalan final, tetapi proses yang
terus bekerja. Dalam hal inilah, ruang-ruang kolektif menjadi wahana progresif
dalam gerakan seni rupa kontemporer hari ini. Hal yang tidak selalu mudah di
negara lain. Pengamatannya di Korea Selatan terakhir, dijelaskan pada penulis:
“Ketika mengamati dunia seni di Korea
(Selatan), rupanya nggak
se-fluid kita. Untuk jadi seniman itu
susah banget. Walaupun support–nya
banyak, tapi untuk yang bekerja dengan kolektif (seni), apalagi berkaitan
dengan teknologi gitu, nggak semudah kayak di sini. Waktu kita datang ke sana
(Seoul), yang lebih membuat mereka tertarik itu, ‘bagaimana sih kamu bisa
mengerjakan dari hal-hal yang kecil dan sederhana jadi sebuah karya.’ Jadi
kalau mereka mungkin karena banyak di-direct
government itu, karya kesannya harus
yang flawless (tanpa cela).
Kalau soal kolektif,
di sana itu kayaknya agak susah ya. Mereka di sana seolah harus jadi kolektif
yang establish dulu, baru bekerja.
Makanya buat mereka, sangatlah menarik mempelajari kolektif kita yang terbiasa
dengan latar belakang berbeda, tetapi mudah untuk bisa kerja bareng. Mungkin
itu kelebihan kolektif kita di Indonesia, yang lebih fluid dan bisa solid
tampil di luar.”
Menyoroti
komparasi tersebut, Ira merasa seni rupa di Indonesia memiliki potensi tinggi
untuk diarahkan menjadi proyek-proyek diplomatis. Diplomasi yang dimaksud
tentunya diplomasi budaya, yang akan berguna untuk menyemai kerja sama dalam
level global. Tujuannya jelas, turut mengupayakan humanisme, keadilan sosial,
gender dan kepedulian krisis ekologi maupun iklim; termasuk persoalan relasi
manusia dengan teknologi itu sendiri. Mba Ira sendiri mencoba mengisahkan pada
penulis tentang apa yang perlu kita ambil dari strategi kebudayaan Korea
Selatan:
“Korea membuat Asia Culture Center, udah belasan tahun.
Mereka salalu ingin mempresentasikan Asia, mereka ingin bikin sendiri. Misalnya
dengan Jepang, mereka sangat bersaing dalam perebutan pengaruh kebudayaan dan
merepresentasikan Asia. Ini jelas sejalan dengan misi pemerintah mereka.
Mereka mempromote
negara di bidang kebudayaan, makanya ada macam anggota BTS (Bangtan Boys /
Beyond The Scene) yang tampak memperhatikan seni rupa. Ini bukti bahwa
mempresentasikan dan mereprestasikan Asia jadi bagian dari upaya strategi
kebudayaan mereka.
Mereka juga selalu
bikin pameran internasional dan mengadakan residensi buat orang Asia. Mereka
bahkan punya researcher sendiri dan
membayar mahal untuk itu. Kalau ARKO di Seoul, memang berbeda dengan ACC,
tetapi bisa dibilang mereka punya misi yang sama dalam representing dan berjejaring dengan seluruh kawasan Asia.”
Sepanjang
obrolan kurang lebih satu jam, kami menampung banyak sekali pengalaman dan
gagasan. Kami pun tiba pada obrolan akhir seputar antusiasme dan perhatiannya
kini, khususnya sebagai seniman maupun kurator. Ira sendiri kemudian banyak
memaparkan pengalamannya yang merentang dari event ke event, pameran, konser
bahkan party. Semua itu tidak lepas
dari upaya Ira dalam merajut komunikasi dan proyeksinya di dalam jejaring kerja
artistik yang multi disiplin. Ira kembali menjabarkan panjang lebar:
Aku sebenarnya agak
belajar tentang ilmuwan seperti Leonardo Da Vinci, yang lintas disiplin. Nah
aku sebagai artist atau katakanlah pseudo scientist, misalnya aku
mengerjakan eksperimen, itu kan hampir sama dengan mengerjakan praktik
kuratorial. Sebab selalu based-nya experiment, jadi aku seneng berinteraksi
dengan banyak orang.
Aku pikir kerjaku
sebagai artist juga hampir sama. Jadi
aku memahami karakteristik dan latar belakang setiap keterlibatan. Misalnya
ketika bekerja dengan makhluk lain, seperti pengalamanku bekerja dengan
mikroba, itu ya berarti mikroba inilah kolaboratorku.
Tapi kalau ditanya
perhatian terbaruku, aku justru terkadang ingin jadi semacam media theorist. Jadi berhubungan dengan digital network. Misalnya kurasi
sekarang berdasarkan click bait, tentu
ada dong pergeseran, yang membuatnya berbeda sekali dengan dulu. Hari ini kita
berjualan karya udah nggak ribet dan harus melulu dengan galeri kan. Menurut
aku, kita ini masih lambat mencerna perkembangan global; misalnya pameran seni
yang offline, lalu ditulis untuk publik online, ini tentunya punya persoalan
pencerapan yang berbeda.”
Memungkasi
obrolan ditengah renungan penulis mendengarkan pemaparannya, Mba Ira mendesis
harapan kecil pribadinya: “ya mudah-mudahan kelak disertasiku bisa selesai ya”.
Saya baru menyadari bahwa di tengah kesibukan proyek seninya, masih ada langkah
akademis formal yang diam-diam diusahakannya. Tampaknya simpulan obrolan dengan
Mba Ira mempertebal dugaan awal saya. Sebagai subjek dalam medan seni, Irene
Agrivina ibarat state of the art itu
sendiri!