Pesta Boneka, Kopitiam dan Hujan Pembawa Memori Masa Silam

Pesta Boneka, Kopitiam dan Hujan Pembawa Memori Masa Silam


Suara bunyi pasien kritis terdengar “....Titt..titt…” suasana menjadi kelam, kedai Kopitiam yang sepi pengunjung kini menjadi makin muram sepeninggal wanita tua yang ia panggil istri.


Tanggal 6 Oktober, Jogja mendung. Bisa diprediksi, semisal pagi hari terang benderang sorenya pasti hujan deras. Begitu juga yang terjadi di hari Jumat itu, saya dan Awi (Fotografer JAW) sudah merencanakan datang ke Pesta Boneka sekaligus jadi pengalaman pertama berkunjung menonton International Biennale Puppet Festival. 


Selama diperjalanan menuju utara, lagi-lagi saya diajak recall memori-memori lama. Dibawa kembali mengingat rasa dan suasana panggung yang di depannya tampak gelap dan gerah karena lampu kuning yang menyorot tajam. Tidak lagi terlihat berapa banyak mata yang sudah menunggu adegan saya yang memerankan tokoh Petra, hanya ada suara tepukan tangan dan tawaan kala saya berakting menjadi seorang gadis muda genit pelayan Senora si janda tua.


Saya pernah bergabung selama 4 tahun bersama komunitas teater di bawah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bernama Teater Lakon Kesenian Kampus atau LKK. Sebut saja seperti olah vokal, olah tubuh,  olah rasa, keaktoran, monolog, naskah, pementasan, produksi, manajemen sanggar pernah menjadi makanan sehari-hari. Saking seringnya beraktivitas bersama sanggar teater, sempat terpikir untuk pindah tempat tinggal. Kalau bukan karena kepikiran ditanya orang tua ngekos di mana, ingin rasanya tinggal di sanggar saja, karena hampir setelah pulang kuliah rumah berukuran 7x6 meter itu menjadi tujuan utama.


Momen-momen berproses hingga teriakan kakak senior “Vokalmu dek, pakai suara perut jangan suara tenggorokan” masih terngiang kuat saat melihat aktor lain di panggung sedang berdialog. Selain pernah menjadi aktor, saya juga pernah merasakan bagaimana serunya menjadi sutradara dan bagian dari tim produksi. Pementasan pertama saya berperan sebagai aktor utama di naskah Teras Jodoh oleh sutradara Fatia Aini tahun 2013, menceritakan nenek tua yang mencari jodoh untuk anak laki-lakinya yang pengangguran. Pada tahun berikutnya, mendapat kesempatan memerankan tokoh Petra dalam naskah Pagi Bening, sebuah drama komedi satu babak dari tanah Spanyol karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero terjemahan Sapardi Djoko Damono, disutradarai oleh salah satu senior yaitu Ardian di tahun 2014. Sebagai anak teater tidak lengkap rasanya apabila belum pernah menjadi sutradara dan menggarap naskah sendiri, di tahun 2015 naskah komedi berbalut seni rupa dengan tajuk “Mona Lisa” sukses dipertunjukkan di panggung megah Taman Budaya Sumatera Utara.


Tidak mau berlarut lama dengan ingatan yang tiada habisnya. Setelah sampai di Kampung Media Resort Yogyakarta, saya bergegas menghubungi Meyda salah satu Tim Pesta Boneka yang akan menjelaskan tentang semua kebutuhan liputan kali ini. Meyda banyak menjelaskan tentang apa itu Pesta Boneka, siapa saja partisipannya dan penampilan siapa saja yang bisa disaksikan pada sore hari itu. 


“Pesta Boneka #8 tahun ini berjudul Remembrance, diikuti oleh 35 kelompok dan individu seniman dari 18 negara. Untuk open stage bisa masuk tanpa registrasi tapi memungkinkan masuk apalagi masih ada slot, sedangkan untuk yang berada di ruang pementasan harus registrasi karena kapasitas terbatas. Selama pementasan offline berlangsung, total pengunjung kami sebanyak 500 orang per hari, ini adalah hari kedua jadi sekitar 1000 orang sudah berkunjung,” ujar Meyda.



Sekilas Tentang Pesta Boneka oleh Papermoon Puppet 


Pesta Boneka adalah festival teater boneka berskala Internasional yang diadakan secara independen oleh Papermoon Puppet Theatre sejak tahun 2008. Festival yang diadakan per dua tahun ini menjadi ruang berkumpulnya seniman dan para pecinta teater boneka dari berbagai belahan dunia. Tempat penyelenggaraannya juga beragam mulai dari ruang teater sampai ke desa-desa. Menurut Meyda, acara tahun ini sangat istimewa karena kembali mengadakan pertunjukan Offline pertama setelah terhalang akibat pandemi.


Setelah ngobrol seputar Pesta Boneka, saya dan Awi mencari salah satu tempat pertunjukan yang akan tampil dalam waktu dekat, dan kami memutuskan untuk menonton penampilan dari Five Stones Theater Singapura dengan judul Kopitiam. Para pengunjung yang sebagian merupakan orang asing ini berbaris rapi menunggu pengecekan tiket yang sudah mereka dapatkan melalui pendaftaran online. Saat giliran kami masuk, sebuah ruang pertunjukan mini sudah disetting sedemikian rupa. Dua orang menggunakan kaos putih dengan sangat ramah menyapa dan mempersilakan pengunjung untuk duduk. Mereka tampak sumringah, menyapa siapa saja layaknya sudah akrab dan kenal lama. 


Dua orang yang menyapa pengunjung tadi bernama Hui Xuan dan Bright mereka adalah aktor untuk memerankan sekaligus menggerakkan boneka kakek nenek di pementasan Kopitiam. Selagi semuanya menunggu, mereka juga mengambil posisi di panggung, duduk di dua kursi kayu sambil membaca koran. Semua orang jadi terdiam, mungkin bertanya-tanya, apakah sejak awal mereka menyapa, sudah bagian dari pertunjukan? Sama seperti penampilan teater pada umumnya, akan ada properti pendukung. Uniknya di panggung Kopitiam, terdapat properti besar yang akan digunakan para aktor dan mini properti untuk boneka. Mereka menghadirkan kursi, meja, lemari, pemanggang roti, cangkir, saringan teh, kipas angin dan tumpukan rak botol sebagai panggung untuk boneka. Ada yang khas, sebuah plat nama toko berukuran mini dengan tulisan hanzi dan latin bertuliskan “Chin Choo”.


Sekilas Cerita Tentang Kopitiam 


Pertunjukan ini diawali dengan Hui Xuan dan Bright yang berdansa dengan lagu The Shirelles-Will You Still Love Me Tomorrow sambil mengalungkan handuk kecil. Mereka berperan sebagai dalang boneka-boneka kayu dan aktornya sendiri. Kopitiam bercerita tentang dua orang tua yang mengelola warung kopi di tengah kota yang sudah dipenuhi oleh kafe kekinian di Singapura. Rutinitas sepasang suami-istri ini hampir sama seperti yang dilakukan pedagang kopi pada umumnya. Si kakek menyusun kursi dan meja, membersihkan warung dan si nenek menyiapkan roti panggang untuk dijual bersama dengan kopi. Mereka mencoba menawarkan kopi kepada setiap pejalan kaki yang melewati warungnya, namun tetap saja tidak ada yang mau singgah. Hari demi  hari berlalu, mereka masih melakukan hal yang sama dan sesekali menikmati hidup dengan berdansa dengan lagu favorite mereka, persis sama seperti yang Hui Xuan dan Bright lakukan di awal pertunjukan. 


Suatu hari nenek terjatuh dan dirawat, namun sayang sang nenek meninggal dunia. Sebuah pigura dengan potret nenek ditampilkan di atas lemari tua. Waktu terus berlanjut, Kopitiam masih terus berjalan, tidak ada lagi yang memanggang roti dan membantu memijat bahu laki-laki tua malang itu. Saat adegan sepi dan sendiri ini dihadirkan, muncul tokoh baru yang diperankan ganda oleh Hui Xuan sebagai pemilik bangunan, ia meminta kakek untuk membayar uang sewa atau tempat itu akan segera ditutup. Karena permasalahan ekonomi, satu per satu barang-barang kakek terpaksa harus diambil hingga pada pemutusan listrik. Malamnya, terjadi gempa yang meluluhlantakkan semua barang-barang, kakek berusaha menyelamatkan barang yang bisa diraih, salah satunya adalah pigura foto sang istri. Adegan ini cukup seru dan haru, sebagian warung terpaksa hancur dan terbelah. Bagian lainnya masih layak digunakan untuk berjualan. Hari-hari kembali seperti biasa lagi dan kakek masih menjual kopi.


Adegan-adegan yang diperankan oleh boneka kayu ini bisa dirasakan emosinya oleh penonton, selain karena diekspresikan oleh dalangnya. Kesedihan juga turut dirasakan oleh para penonton saat adegan nenek yang masuk rumah sakit dan meninggal, yang tersisa hanya seorang kakek tua yang berusaha menghidupi dirinya sendiri dengan berjualan kopi. Kesetiaan dan cinta sang kakek terlihat jelas dalam tiap adegannya setelah ditinggal oleh nenek. Pada penampilan ini, penonton diberi pemaknaan, apa itu arti kehilangan dan bagaimana kita menghadapi perubahan.



Kopitiam dan Singapura


Setelah pementasan berakhir, terdapat sesi tanya jawab dengan para aktor. Pertanyaan seputar latar belakang pengangkatan cerita ini, semua properti hingga proses pembuatan boneka. Cukup menarik, ternyata karya mereka berangkat dari pandemi, Kopitiam yang mulai digeser kafe kekinian, hingga ranah politik di Singapura. 


Saya juga menyempatkan ngobrol Hui Xuan seputar penampilan mereka, “It's been great, I mean the energy from the audience. Being very nice you know everyone is so loving and giving love. And so I think for us it's peace, especially for Kopitiam, which is about love and love letters to institutions and generations of people. I think it's very special to perform this piece here. This is our first time performing in Indonesia, we performed it in Singapore twice and this is the third time in Indonesia. We are still here until 2nd October in Indonesia” ujarnya.


Penasaran dengan tanggapan penonton dengan pertunjukan barusan, saya sempatkan ngobrol dengan salah satu dari mereka. “Ini tadi, saya merasa senang banget nontonnya, benar-benar enjoy setiap detik yang ditampilkan di atas panggung, gestur-gestur dan komponen benar-benar terbawa suasananya. Pokoknya senang dan terharu banget bisa nonton offline lagi, pertama kali nonton pesta boneka di tahun 2016 tepatnya di UGM dekat lapangan” ungkap Zahra penonton Kopitiam dari Magelang.


Hujan Masih Belum Reda, Akhirnya Nonton Pertunjukan Kedua


Selagi menunggu hujan reda, kami sempatkan untuk menonton satu pertunjukan lagi dari grup teater boneka asal Bandung yaitu Bon Puppet dengan judul “Broom..Brmm…Brmm…..”. Kesan saya saat menonton penampilan mereka adalah  profesional dan totalitas, para dalang terus melanjutkan pementasan walau sedang gerimis. Mengisahkan seorang petani sunda yang tinggal di gubuk sederhana.  Suatu hari sesampainya di depan rumah, si kakek menyapu daun-daun yang berguguran. Setelah selesai ternyata sebuah sapu ajaib bisa bergerak sendiri dan membalikkan keranjang sampah sehingga teras menjadi kotor kembali. Klimaks dari pementasan ini saat kakek mengetahui sapu yang dimilikinya bisa bergerak dan terjadi pertarungan yang lucu di antara keduanya. 


Setelahnya, masih ada waktu untuk berkeliling art & craft bazaar yang diramaikan oleh pengrajin dan bisnis lokal. Pengunjung bisa beli oleh-oleh atau sekadar jajan di area foodcourt. Berkunjung ke Pesta Boneka adalah kesempatan berharga dan langka, terutama acara yang sama hanya akan bisa saya nikmati di dua tahun yang akan datang. Akhir-akhir ini suasana kesenian di kota Jogja bagi saya cukup syahdu, dipenuhi hal-hal serba baru, mau tak mau harus dijalani tidak lupa disyukuri. Hujan bulan Oktober ini juga baik, ia turun sambil membawa memori lama yang menguatkan dan mengingatkan, bahwa seni-senian tidak melulu seni rupa sesekali kembalilah berdrama.