Peluncuran Buku 10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa: Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi

Buku tidak pernah terlepas dari adanya proses transfer ideologi dan pengetahuan dari penulis dan pembaca. Entah apa isinya, buku hampir selalu menjadi ruang runding. Dalam aktivitas membaca, pembaca bernegosiasi dalam menunjukkan sikap terhadap buku yang dibacanya. Selebihnya soal buku, saya tidak akan menuliskannya disini karena fungsi dan manfaatnya bisa dicari sendiri di kotak pencarian di internet.


Jumat (6/1) pekan lalu telah berlangsung acara Peluncuran Buku 10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa: Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi. Acara ini dilangsungkan di Ruang Seminar LPPM Universitas Sanata Dharma, Kampus 2 Mrican, Yogyakarta. Kemudian, terberkatilah mereka yang selama ini nonton Biennale Jogja Equator dan keluar ruang pamer dalam keadaan bingung karena barangkali buku ini akan menjadi jawaban atas pertanyaan yang muncul di benak masyarakat perihal seri Equator tapi ngga ngerti harus nanya kemana.


10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa: Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi menjadi buku yang merangkum rangkaian penyelenggaraan Biennale Jogja Equator yang telah dimulai sejak 2011. Lebih dari satu dekade lalu, Jogja Biennale mengawali project Equator mereka dengan India, dengan Kawasan Arab pada 2013, dengan Nigeria pada 2015, dengan Brazil pada 2017, dan dengan Asia Tenggara pada 2019. Pada penutup seri Equator di 2021, Jogja Biennale bekerjasama dengan kawasan Oceania, atau Pasifik.


Penting untuk mengumpulkan pembacaan dan praktik penciptaan seni yang diharapkan akan berpengaruh dan berkontribusi pada munculnya teori baru atau kajian baru, baik dalam dalam koridor seni, maupun kebudayaan. Pada saat yang sama Biennale Jogja juga melihat seluruh proses ini sebagai bagian dari pemicu atau pendorong untuk terjadinya perubahan sosial.


Biennale seringkali memunculkan karya yang sangat politis. Karya yang berbasis pada proses. memunculkan kembali suara kelompok-kelompok marjinal, dan menjadikan seni sebagai bagian dari kepedulian. Biennale Jogja mengkonsep buku ini untuk menunjukkan seluruh proses dan diskusi yang terjadi selama adanya seri Equator. Sehingga dapat membangun satu ruang dimana berbagai kelompok masyarakat, terutama lintas generasi, lintas disiplin ilmu, bahkan juga lintas identitas politik. Tak jarang terdapat karya seni atau karya tulis (dalam buku) yang berupaya menuliskan ulang sejarah, baik dalam konteks yang sangat personal, maupun sejarah yang berkaitan dengan sebuah negara atau kawasan.



Perspektif Adaptif


Proses memilah dan memutuskan penulis yang akan terlibat dalam buku ini telah terprogram dengan rapi. Buku lain yang menjadi penanda kerap kali ditulis oleh figur yang telah dikenal secara luas, seperti penulis dengan nama besar, figur yang berpengalaman, atau pakar untuk menuliskan atau memberikan kesaksian terhadap keberlangsungan perhelatan acara. Biennale Jogja justru membuka diri dan mengundang para penulis muda yang belum terlalu sering atau secara khusus bekerja dalam konteks akademis untuk melakukan kajian khusus terhadap arsip-arsip yang dimiliki oleh Yayasan Biennale Yogyakarta.


Beberapa penulis yang terlibat dalam proyek ini adalah para penulis muda yang tergabung dalam program Asana Bina Seni. Asana Bina Seni telah dimulai pada tahun 2019. Dalam empat tahun terakhir ini Asana Bina Seni terfokus pada kelas belajar bersama terkait dengan praktik kuratorial, praktik penelitian seni, praktik manajemen seni, eksibisi pra-Biennale, hingga proses pembacaan  dan terlibat langsung dalam ekosistem seni, terutama yang berfokus pada produksi pengetahuan.


Sebagian besar penulis dalam buku ini adalah peserta dari program Asana Bina Seni. Menariknya, sebagian besar dari para peserta tersebut sebetulnya berjarak dengan sejarah Biennale Jogja Equator. Tidak semua dari mereka mengikuti Biennale Jogja Equator. Namun, pembacaan yang berjarak ini justru menjadi penting untuk diketengahkan bersama, sehingga akan terlihat bagaimana dampak, atau memori dari peristiwa menonton ini untuk generasi yang lebih muda. Selain itu, Biennale juga mengundang teman-teman yang selalu mengikuti Biennale Jogja dan perkembangannya untuk membaca kembali apa saja yang telah dilakukan oleh Biennale Jogja, terutama dalam rentang waktu 10 tahun terakhir.


Saraswati N merupakan satu penulis dalam buku 10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa: Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi dari tujuh belas jumlah penulis secara keseluruhan. Dalam diskusi peluncuran buku ini, Saraswati membagikan sedikit pengalaman pertamanya menulis perihal seni rupa. Hal menarik yang disampaikan adalah baginya saat meneliti, seseorang tidak akan bersikap netral, dan ini menjadi menarik bagi penulis karena agar pengabaian posisi dan pembungkaman subyek dapat diantisipasi bersama.


Saraswati berkisah mengenai tantangan yang dihadapi dalam proses penulisannya kali ini. Ia mengawali project ini dengan memetakan kesamaan atau pengalaman koletivitas yang sama 10 tahun Biennale Jogja seri Equator. Tentu ini merupakan pekerjaan yang rumit dan sulit. Kadang Ia berpikir: apakah ada kesamaan yang ditarik memungkinkan untuk Ia dapat menarik benang merah. 


Dalam prosesnya, penulis juga kerap merefleksi: apakah penelitian dan penulisan ini telah sesuai dengan apa yang ingin dinyatakan? Sudah Ia telah memposisikan para subjek di tempat yang tepat? Karena sesungguhnya Ia tidak ingin melihat subyek hanya sebagai subyek, yang berjarak dan tidak melebur. Tantangan lainnya adalah perihal riset. Penulis harus mencari tahu tentang narasumber melalui dokumen yang sudah ada, sementara sangat disadari oleh penulis bahwa dokumen, arsip atau catatan menjadi materi yang penting, akan tetapi bisa saja hal ini justru menjadi sangat riskan mengingat perbedaan waktu memungkinkan adanya pernyataan opini atau sikap yang tidak lagi relevan.



Mengkonversi Konvensi


Seperti pada ungkapan sebelumnya, mungkin saja tidak sedikit orang yang keluar nonton pameran malah pusing. Barangkali pula ada orang yang marah karena merasa pameran yang ditonton ngga jelas, atau malu karena ngga ngerti. Semua reaksi itu nggak apa-apa. Reaksi apapun akan menjadi tanda refleksi—yang memang seharusnya ada. Tidak melulu refleksi itu hadir dari mata pengunjung, namun juga dari pihak yang punya hajat.


Banyak sekali kegiatan, tapi kurang refleksi. Sementara sebetulnya masih banyak pekerjaan yang belum dan perlu untuk direfleksikan. Melalui hal inilah maka akan terbentuk proses belajar dan Biennale Jogja memberikan ruang berproses untuk itu, tidak hanya untuk para seniman yang terlibat, akan tetapi juga bagi para peserta Asana Bina Seni.


Perubahan generasi publik menjadi hal yang menarik karena buku ini tidak hanya membacakan karya-karya dan konsep kuratorial yang muncul, namun juga pembacaan terhadap publik. Melalui hal ini pembaca dapat menemukan para penulis yang membentangkan tafsir bebas dan terbuka atas peristiwa-peristiwa penciptaan seni yang disajikan dalam Biennale Jogja Equator.