Kamu Perlu Tahu 7 Seniman Ini!

Apakah seniman? Barangkali ia semacam label horor yang aneh, menggendong tekanan seberat jutaan Pascal di punggung maknanya. Ini mungkin umpama yang tidak berlebihan, mungkin juga berlebihan sama sekali, tetapi cukup layak diperbincangkan. Sebab, orang-orang yang dilabeli dengan profesi ini mau tidak mau punya tanggung jawab yang besar porsinya kepada masyarakat dan dirinya sendiri dalam pengembangan kebudayaan ke arah yang lebih baik menurut nilai-nilai kemanusiaan. Seniman, tanpa memitoskannya, adalah ia yang menciptakan karya seni dan memahami posisi kerja-kerja tanggung jawabnya itu.

Berikut tujuh seniman yang perlu Anda tahu berkat kerja-kerja kesenimanannya yang memukau secara artistik dan memahami posisi profesinya dalam roda kebudayaan yang tanpa henti bergulir.

1. FX Harsono
Kita kenal F. X. Harsono. Ia salah seorang legenda hidup seni rupa Indonesia, penanda tangan manifesto Desember Hitam dan terlibat dalam pembentukan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Pada awal karir keseniannya di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) tahun 1969-1974, Harsono tertarik berbagai isu politik yang berkembang saat itu, terutama yang bertautan dengan rezim otoriter Soeharto. Tema-tema yang menarik perhatiannya antara lain marginalisasi individu/golongan, pelanggaran hak asasi manusia, pengrusakan lingkungan berkat industrialisasi, dan pembangunan tanpa pemerataan. Namanya kini telah dikenal oleh dunia internasional sejak 1990-an, setelah secara gamblang mengkritik rezim otoriter Soeharto. 

Kejatuhan Soeharto pada Mei 1998 adalah poin penting dalam sejarah penciptaan karya Harsono. Penumbangan itu melahirkan kegembiraan baginya yang langsung sirna berkat pembakaran, penjarahan, pemerkosaan hingga pembunuhan menimpa ribuan orang Tionghoa di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Beberapa karya pertama Harsono yang berkaitan dengan rekognisinya sebagai peranakan Tionghoa pun lahir, seperti “Burned Victims” (1998) dan “Wear Mask” (2001). Pada 2011 Harsono menciptakan “Writing in the Rain” yang menampilkan dirinya menuliskan namanya dalam aksara Mandarin pada sebuah kaca yang dialiri air. Air menyapu namanya dan lenyaplah aksara itu. Karya-karyanya hari ini lebih berfokus pada rekonstruksi sejarah revolusi Indonesia dari sudut pandang etnis Tionghoa.  

Karya-karya Harsono telah dipamerkan pada berbagai pameran, antara lain bersama GSRB “Proses 85” (1985) dan “Pasar Raya Dunia Fantasi” (1987), “Testimonies”, Singapore Art Museum (2000), dan “Erased Time”, Galeri Nasional Indonesia (2009). Ia juga mendapatkan penghargaan atas kontribusinya dalam dunia seni, seperti Anugerah Adhikarya Rupa 2013 dari Kementrian Pariwisata Indonesia (2014), Prince Claus Award (2013), dan Joseph Balestier Award for the Freedom of Art dari Pemerintah Singapura dan Amerika Serikat (2014).

(FX. Harsono, Dokumentasi: Instagram @ini_fx_harsono)

2. Mella Jaarsma
Jika datang ke ARTJOG 2023, Anda mesti tahu siapa Mella Jaarsma. Ia adalah commissioned artist untuk fasad ARTJOG tahun ini yang berjudul “Outskirts-Underworld”, yaitu bangunan rumah tradisi limasan asli berisikan aneka macam kostum karya Mella yang terbuat dari kain dan kulit kayu. Karyanya ini adalah potret masyarakat Jawa hari ini yang mulai meninggalkan tradisi, melupakan kekuatan sendiri. Mella memang dikenal melalui karya-karya instalasi kostum yang kompleks, performance art, dan fokusnya pada rekognisi budaya dan ras yang tersemat dalam medium-medium pakaian, tubuh, dan makanan. 

Mella lahir pada 9 Oktober 1960, di Emmeloord, Belanda dan belajar fine art di Minerva Academy di Groningen (1978 - 1984), kemudian melanjutkannya di Indonesia melalui Institut Kesenian Jakarta (1984) dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta (1985 - 1986). Pada tahun 1988, ia bersama Nindityo Adipurnomo mendirikan CEMETI – Institut untuk Seni dan Masyarakat. 

Karya-karyanya telah tersebar melalui pameran di Indonesia dan berbagai negara, termasuk “Singapore Biennale”, Singapore Art Museum (2011), “Yokohama Triennial”, (2005), dan pameran tunggal pertamanya dengan tajuk “I Eat You Eat Me I” di Lembaga Indonesia-Perancis, Yogyakarta dan “I Eat You Eat Me II” di Cemeti Art House, Yogyakarta (2000).

(Mella Jaarsma, Dokumentasi: Harian KOMPAS)

3. Wok The Rock
Autonomous Art of Uncertain Life in Yogyakarta adalah 30 menit ketidakpastian yang dapat dibaca sebagai gejala keanehan (baca: kesulitan) hidup sebagai seniman di Yogyakarta pada era pandemi. Eksperimental dan liar. Karya itu adalah kolaborasi antara Wok The Rock, (alm.) Gunawan Maryanto, dan Ramberto Agozalie. Salah satu karya Wok The Rock ini dan tentu saja karya-karya lainnya di Project Yes No Klub: Yogyakarta Experimental Music Show adalah bukti yang cukup atas eksperimentasi artistiknya yang baik. 

Wok The Rock atau Woto Wibowo adalah seniman lintas-disiplin yang lahir pada 15 September 1975, di Madiun, Jawa Timur. Wok menciptakan karya-karya fotografi, tiga dimensi, dan video-art dan merupakan anggota dari kolektif seniman MES 56. Salah satu karyanya yang terkenal adalah instalasi video dan benda tiga dimensi bertajuk “Trash Squad” yang dipamerkan pada “Jakarta Biennale” 2013. Wok menunjukkan sekelompok anak punk yang membersihkan bekas jajanan di minimarket, dan, dengan begitu ia dinilai dapat mengubah stigma anak punk yang serampangan.

Karya-karyanya sempat dipamerkan di berbagai peristiwa ekshibisi seperti “Manifesto: Pameran Besar Seni Rupa Indonesia” (2008) di Galeri Nasional, Jakarta, "ARTJOG 11” (2011) di Taman Budaya Yogyakarta, “Jakarta Biennale 2013” (2013) di Galeri Nasional, Jakarta, “Slave Pianos & Punkasila: The Lepidopters — A Science-Fiction Space-Opera” di Melbourne (2014), Darwin (2014), dan Brisbane (2016), Australia.

(Wok The Rock, Dokumentasi: whiteboardjournal.com)

4. Lucia Hartini
Persinggungan kosmos makro (jagat raya, alam, lingkungan) dengan kosmos mikro (manusia dan binatang). Penjelajahan dunia lain, alam ketidaksadaran. Pergulatan sebagai perempuan, istri, ibu dan nenek. Karya-karya Lucia Hartini berkelindan di antara hal-hal itu. Salah satu karyanya yang terkenal adalah lukisan berjudul “Payung Dua Ribu” (1997). Di kanvas berukuran 2 x 1,5 meter itu Hartini memunculkan kerentanan perempuan menghadapi keresahan terhadap milenium baru melalui figur berupa perempuan berambut panjang memegang payung yang terbuat dari pusaran awan. Ada empat planet luar angkasa bersemayam di pusaran awan itu. 

Lukisan surealisme itu diulas Sindhunata di Harian Kompas pada tahun yang sama dan mendapat respons yang tidak terduga, yaitu dari sekelompok orang di Surabaya yang mengidentifikasi figur perempuan dalam lukisan itu sebagai Master Ching Hai, pemimpin kelompok meditasi metode Quan Yin, yang tenar di seluruh dunia. Mereka lantas mempertemukan Hartini dengan Master Ching Hai yang kebetulan sedang di Surabaya. Hal ini membuka kesempatan Hartini pada gaya hidup barunya sekarang, yaitu meditasi dan vegetarian. 

Hartini lahir pada 10 Januari 1959 di Temanggung, Jawa Tengah. Hingga kini, karya-karyanya telah melawat ke berbagai pameran seperti Pameran Bersama “Marwah” di JNM Bloc (2023), Pameran Bersama “Confess and Conceal, Insights from Contemporary Australia and South East Asia” di The Gallery of Western, Australia, dan Pameran Tunggal “Batas Antara Dua Sisi” di Bentara Budaya Yogyakarta (1994).

(Lucia Hartini, Dokumentasi: Harian KOMPAS)

5. Roby Dwi Antono
Masa kecil adalah batu pertama arsitektur ketaksadaran yang memupuk cara manusia ber-laku kelak saat dewasa. Begitulah Antono bekerja dalam karya-karya pop surealisnya, meminjam ingatan-ingatan masa kecilnya yang indah dan menyakitkan untuk dialihkan pada kanvas. Maka, kita dapat melihat ikon-ikon seperti kincy (kelinci), power rangers, godzilla, ultraman hingga batman dengan nuansa kesenduan pada karya-karyanya, seperti COLOSSUS (2016), Menawar Mimpi (2015), dan Mencicip Pagi (2013).

Antono lahir pada 31 Oktober 1990 di Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah. Hingga kini karya-karyanya telah dipamerkan di berbagai pameran seperti “ARTJOG 2013” di Taman Budaya Yogyakarta (2013), “6x6 International Group Exhibition of Small Works” di Auguste Clown Gallery Melbourne (2015), dan “Pameran Tunggal Southern Monster, Northern Child” di Galerie Stephanie Manila (2016).

6. RYOL/ Laksamana Ryo
Dunia nyata selalu berbeda dengan realitas kartun, dan, menerimanya kadang-kadang menyebalkan. Kita tidak pernah bisa menemukan, misalnya, makhluk laut yang berbahagia seperti kartun-kartun tentang laut. Kita hanya bisa menemukan laut yang semakin menyedihkan dan begitu juga dengan penghuninya. Itulah yang RYOL refleksikan dalam karya-karyanya, bahwa dunia nyata tidak begitu memuaskan seperti bayangannya semasa kecil dari serial kartun di televisi. Karya-karya pop surealisnya memberi pembacaan yang demikian jelas, misalnya saja Hallway (2023), Crowded Snorlax (2021), atau Cat Dog (2022).

RYOL adalah seniman yang lahir pada tahun 1993 di Banyuwangi, Jawa Timur. Ia lulus dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan memulai kerja-kerja penciptaan seninya di berbagai pameran, seperti beberapa pameran di Thinkspace Projects, California (2022), “Step into summer like” di Galerie Zberro, Paris (2023), dan “Lax. Ord III” di Vertical Gallery, Illinois (2021).

(RYOL, Dokumentasi: @ryol.id)

7. Rizka Azizah Hayati
Borok-borok masa lalu, seperti karat pada logam, merupakan bekas luka dari suatu reaksi lingkungan dan atau peristiwa korosif yang meringsekkan persepsi keutuhan materi suatu subjek. Borok berkat orang, sementara logam dari garam-garam. Umpama inilah yang digarap Rizka Azizah Hayati dalam karya-karyanya melalui teknik rust dyeing, yakni mencetak besi berkarat pada kain dengan sengaja memanfaatkan proses alami korosinya. Ia kadang memadukannya dengan foto yang dicetak pada kain, kain perca, sampah tekstil, dan jahitan benang. Karat-karat adalah upaya peredaman borok dari keganasannya memakan masa depan dan kemungkinan-kemungkinan baiknya. Kita bisa sebut karya-karyanya, salah satunya “Tumbuh di atas Tubuh” (2021). Karya ini merupakan salah satu contoh konkret praktik peredaman itu, di mana trauma pengasuhan ditampilkan melalui kain perca, rust dyeing, benang dan cat akrilik pada kanvas.

Rizka Azizah Hayati merupakan seorang seniman yang lahir tahun 1996 dan tumbuh di sebuah desa kecil bernama Bawahan Pasar, Kalimantan Selatan, Indonesia. Tumbuh di komunitas adat Banjar membuatnya mengalami akulturasi Dayak-Melayu dengan Islam. Dari Bawahan Pasar, ia berkembang jadi seniman di Yogyakarta melalui karya-karyanya di berbagai pameran, beberapa di antaranya “ARTJOG 2022” (2022) di Jogja National Museum dan menyabet penghargaan sebagai Young Artist Award, lalu di “Art Jakarta Garden” (2023) di Hutan Kota by Plataran, Jakarta Pusat, dan “Epifora” (2021) di Taman Budaya Yogyakarta.

(Rizka Azizah Hayati, Dokumentasi: @rzk.riz)