Mengapresiasi Musim Lebaran Seni Mulai dari ARTJOG? Sebuah Pengantar Nge-GAS!

Sekitar akhir bulan pertama tahun 2023, saya yang hidup di dusun dan terhitung jarang bepergian ke luar Jogja, tiba-tiba melesat ke barat di kala senja bersama kolega Buku Seni Rupa (Huhum Hambilly dan Riyan Kresnandi). Berbekal mobil merakjat yang tak bisa disalip, sebab selalu ada saja kembarannya di jalan, kami menempuh ratusan kilometer demi esoknya tiba di kompleks perumahan rapi bergaya 1990an, yang sebagian tampak masih menggunakan pagar teh-tehan. Sedikit canggung, kami memarkir, dan tak lama seorang kakek tinggi dengan rambut dan brewoknya putih penuh, ialah sosok yang hampir selalu muncul namanya dalam sejarah wacana dan praktik kuratorial di Indonesia. Kami bertukar senyum dan jabat tangan: “Saya Jim, …mari ke kantor saya di (lantai) atas”. 

Sejak karir awal, Jim masihlah seniman yang segera masyhur dan memberi klaim “Gerakan” pada sebuah peristiwa pameran “Seni Rupa Baru Indonesia” (TIM, 2 s.d. 7 Agustus 1975) yang kemudian selalu dielu-elukan dalam perbincangan sejarah seni rupa kita sebagai pelopor seni rupa kontemporer. Hal itu tak lain dampak dari upayanya menyusun buku yang kemudian kadung jadi literatur dan sumber tertulis paling awal, kalau bukan otoritatif, untuk menjelaskan apa yang terjadi. Suka tak suka, Jim mengantongi satu kemenangan sejarah!

Ketika belum lama ini sebagian penulis, sejarawan dan kritikus maupun kurator mencoba menelanjangi perspektif baru membaca sejarah GSRBI, Jim masih tetap satu bumbu yang tidak bisa tidak disebut ketika menyajikan “Masakan Sepanjang Zaman” (Ed. Hyphen, 2023). Tidak berhenti di situ, sebagai seniman, Jim juga punya wajah lain sebagai wartawan aktif di Tempo. Peran ganda ini kemudian usai ketika setahun setelah kepulangannya dari pameran Artist Region Exchange (ARX, Perth, Australia, 1989), ia nekat mengundurkan diri sebagai wartawan dan mendaku sebagai ‘Kurator’ (independen) untuk perdana di Indonesia. Lagi-lagi Jim menang nego dengan sejarah dengan membuka pintu kanon kekuratoran di Indonesia.

Tak dinyana, sepanjang 1990an ia membidani setidaknya dua institusi lewat dua tokoh, yakni Prof. Edi Sedyawati dan Sri Astari Rasjid. Jika melalui Prof. Edi Sedyawati, Jim diminta untuk membantu mempersiapkan institusi Galeri Nasional yang nantinya baru resmi pada tahun 2000 sebagai GALNAS. Maka melalui Sri Astari Rasjid, Jim didesak menyusun pameran dalam waktu dua bulan; “Jim, ini tolongin lah, gue diketawain sama anggota-anggota dewan yang laki-laki nih,” terangnya menirukan Astari. Akhirnya Jim membidani institusi Biennale seni rupa kontemporer pertama yakni Biennale Seni Rupa Jakarta (BSRJ) IX, dan lagi-lagi Jim menang berkalang sejarah. 

Jim Supangkat (kanan) berbagi cerita di kediamannya bilangan Padabetah, Setiabudi, Bandung. (Foto: Dok. Riyan Kresnandi) 

Pasalnya peristiwa pameran BSRJ IX yang dibuka pada 21 Desember 1993 di TIM tersebut, menjadi polemik di surat kabar selama berbulan-bulan, salah satu pemicunya adalah catatan kuratorial Jim yang mengklaim pameran itu dengan pengaruh prinsip-prinsip pascamodern (Hujatnikajennong, 2003: 153). Disamping banyak kesalahpahaman pemaknaan pascamodern dari para pengkritik pameran itu, harus disadari bahwa teks—gagasan, tulisan, pernyataan seniman maupun representasi karyanya—masih diperlakukan sebagai objek oleh para senimannya sendiri, dan bukan sebagai subjek. (Hendro Wiyanto, 2021: 15).

Dari kasus itu, saya menyadari bahwa kekuatan subjek dan potensinya untuk terlibat masuk dan menjadi sebuah peristiwa menyejarah, sepenuhnya terletak dalam pembiakan resepsi media massa. Baik buruk segala yang direkam media massa, akan menjadi salah satu acuan arsip pun ingatan kolektif yang menorehkan kebenaran sejarah. Setelah berpamitan dari tempat Jim Supangkat, keesokan harinya kami kembali melesat, namun kini ke arah timur laut demi mampir dan berdiskusi dengan teman-teman di Jatiwangi Art Factory.

Selama seharian di Jatiwangi, kami salah satunya berbincang dengan Bunga Siagian dan Ismal Muntaha, dua seniman dan peneliti yang menjadi penggerak Badan Kajian Pertanahan (BKP) sejak 2016. Selaku gerakan berbasis kolektif, BKP salah satunya berhasil memantik sebuah reforma agraria bagi para pengguna tanah (Land for the Tiller) di kampung Wates, melalui pembuatan Sertifikat Kebudayaan Tanah. Tak dinyana pula, usaha tak menghianati hasil, terbukti kemudian pada hari Jumat, 1 Maret 2019, perwakilan Kantor Staf Presiden, Bambang Suryadi dari Deputi IV – Tim Ahli Bidang Komunikasi Politik menandatangani monumen Sertifikat Kebudayaan Tanah sebagai bentuk pengakuan negara atas apa yang dilakukan warga sepanjang sejarah hingga kini. Kembali satu kemenangan sejarah! 

Sebuah plang besi yang ada di Desa Wates, Jatiwangi, Jawa Barat. (Foto: Dok. Huhum Hambilly)

Selama perjalanan kembali ke Jogja, melalui hawa dingin dan pukau candi-candi Dieng, seketika terselip satu benang merah tanya di benak saya: Bagaimana suatu peristiwa layak diklaim sebagai sejarah dan bagaimana eksistensi subjek/agensi dianggap suatu tindak menyejarah? Pasalnya, untuk menentukan kebenaran, sejarah dibangun lewat klaim kiprah ketokohan-peristiwanya, dengan konsekuensi penguasaan pemahaman sejarah di masa mendatang. Ringkasnya, pengetahuan hingga hukum di masa depan bertolak dari kebenaran yang dikanonkan di masa lalu. Takdir kebenaran masa depan, begitu bergantung pada sikap memenangkan sejarah. Untuk memenangkan sejarah, pola kuasa apakah yang paling adil? 

Menariknya dan nyatanya, klaim sejarah terbaik di negeri kita, selalu dimulai melalui rekaman medium material yang awet, seperti monumen, tulisan pada prasasti-candi hingga di masa modern adalah media cetak. Pendeknya, lantas apa yang harus dilakukan secara praksis, ketika berhadapan dengan praktik seni rupa kita hari ini, ketika pencatatan peristiwa seni rupa, di satu sisi secara digital diawetkan—sekaligus dilewatkan (Unfollow/Unsubscribe/Scroll)—lebih cepat dari medium material maupun cetak? Saya kira kita masih belum sepenuhnya sadar dengan apa yang harus dilakukan di dalam transisi media rekam peristiwa ini.

Sementara itu, kesejarahan di tengah politik perhatian-viewer dan produsen seni(man) yang lebih banyak dari sebelumnya, terjadi anomali lewat pupusnya media cetak pascareformasi khusus seni rupa (Buletin Muara, Buletin Kitsch, Buletin Makna, Arti, Surat YSC —Yayasan Seni Cemeti—, Jurnal Karbon, Newsletter Mes 56, Visual Art, Sarasvati). Di saat yang sama kebergantungan klasik kritik seni rupa pada sela-sela kolom koran (cetak dan digital), selain terkesan hanya meliput dan mempersoalkan peristiwa yang dianggap wacana besar (Juliastuti, 2007: 101), para penulis cum kritikus cum kurator yang menulis terkesan sibuk-asik sendiri? (Lihat polemik koran Kompas Minggu Mei - Juli 2021, yang berlanjut di laman borobudurwriters.id). 

Selebihnya, seiring kian mudahnya teknologi media digital berikut media sosial, kubu-kubu yayasan, galeri, kolektif yang kuat, membangun medianya masing-masing yang tampak mewarnai kompleksitas keberagaman bermedia, namun keberadaannya yang tetap segelintir itu perlu dimaklumi ketika tidak selalu memedulikan fenomena di luar kebersinggungan institusinya. 

Walakin, pertanyaan klasik agaknya masih tetap berlaku: Apakah seni rupa dianggap sebagai bidang yang terlalu spesifik sehingga tidak akan menarik minat pembaca dari publik yang lebih luas? Apakah karena alasan itu maka media seni rupa banyak yang berbasis nonkomersial? (Juliastuti, 2007: 105)

Sejarah Seni di Tangan Platform Apresiasi? 

“‘Tinjauan Seni’ merupakan dasar bagi pembahasan kesenian (kritik), ketajaman seni serta penilaian tanggapan kesenian pada umumnya (Art Appreciation).” 

Oei Sian Yok a.k.a Pembantu Seni Lukis Kita, 6 September 1958.

Buat saya, menghadapi Jogja adalah menyadari realitas seni rupa yang dihidupi dengan lalu lintas dan sirkulasi subjek. Entah itu ulang-alik minat studi, dari yang di luar seni, kemudian meminati seni; hingga ledakan-ledakan pasar dadakan seniman-seniman berbasis akademis dan/atau berbasis hobi dan pergaulan public figure, utamanya dipandu kegetolan menggarap modal media sosial. 

Memang secara institusional, akhir-akhir ini, di luar program-program maupun agenda pameran galeri-galeri yang dimiliki personal dan kolektif, hanya segelintir peristiwa seni rupa rutin, misalnya Biennale (yang tertua), FKY, ARTJOG, Nandur Srawung hingga yang tergolong baru, semisal pameran tahunan Warta dan Sumonar. Sedang selebihnya adalah proyekan yang datang dan pergi tanpa sanggup dijadikan sebagai acuan keberlanjutan. Kecenderungan pendanaannya sendiri bisa dipastikan kebanyakan berbasis hibah dana keistimewaan. Terlepas manasuka dan relatif menjadi sokongan finansial bagi kreativitas seniman, namun toh segala peristiwa tersebut tidak selalu selamat direkam, apalagi dipahami sebagai gejala sejarah yang berarti/berdampak.     

Sebelumnya, perlu kami utarakan bahwa selama ini kami (dimotori Huhum Hambilly sejak 2017) telah membangun @bukusenirupa yang awalnya adalah murni platform lapak dagang buku online, hanya saja “takdir” berkata lain dan memanggilnya menjadi platform warta, publikasi dan konten medsos seputar praktik dan isu seni rupa (kebanyakan di Yogyakarta). Giliran memasuki Februari 2023 itulah, kami nekat membangun website khusus. Terbitlah senirupa.id dengan nirambisi membantu mengatasi persoalan dan sejarah panjang jatuh bangun media seni rupa cetak sebelumnya. Malahan justru dengan adanya kesadaran bahwa kami tidak mungkin sendirian mewarnai media seni rupa online, di tengah website-website berbasis komunitas dan kolektif yang juga bertumbuh, maka senirupa.id—dengan penggunaan istilah dalam bahasa—sengaja bertaruh pada upaya menyambung lini masa sejarah dan rekam peristiwa; bermimpi turut mewadahi segala kritik atas fenomena seni rupa kontemporer di dan dari Indonesia. Namun cukupkah? Tentu tidak! 

Sekitar dua bulan kemudian, kami telah melangkah untuk mempersiapkan sebuah seminar bedah buku Jim Supangkat; dan kami pun beruntung sekaligus berhasil menyelenggarakannya dalam tajuk “Satu Abad Gagal Paham” yang berlangsung di gedung pascasarjana UGM pada 8 Mei 2023. Upaya memperkaya kritik seni rupa dari raksasa sepuh seni rupa itu, menagih kami sebuah catatan tentang persepsi dan pisau bedah sejarah yang mesti diubah. 

Saya kembali merenungkan bagaimana merekam/menulis/menoreh sejarah seni di dalam situasi sejarah yang serba bukan, yakni bukan dari geladak kapal kolonial, bukan dari teori dan sejarah Euro-Amerika, dan bukan dari dominasi patron-patron sejarah lama semisal dominasi penulis laki-laki hingga sensibilitas khas priyayi dst; sementara desakan di depan mata, kita berada di tengah klaim-klaim sejarah yang mudah didengar dan menang sembari mengebiri narasi-narasi yang terpencil dalam bukti yang kian sayup-sayup? Apakah ini hanya soal giliran atau estafet kubu maupun generasi, sehingga yang kalah kelak menang, dan berputar terus sebagaimana lini masa sejarah diyakini sebagai linearitas gerak maju dan bertujuan (teleologis)? Belum usai ketidakpahaman saya, segera genderang lebaran seni/hari raya seni kembali ditabuh oleh raksasa pameran blockbuster, ARTJOG.

Tanpa tradisi tertulis, hanya bermodal tradisi lisan dan keterlibatan common sense, kita kenali bahwa perhelatan ARTJOG, sejak 2010, senantiasa menjadi acuan galeri dan ruang kolektif di Yogyakarta untuk menyelenggarakan pameran dan kegiatan seni lainnya. Di masa itulah Jogja Art Weeks muncul sejak 2015, sebuah kanal pemersatu bangsa bagi gelaran seni selama musim lebaran seni yang digagas dan dibiayai ARTJOG.

Lagi-lagi tak dinyana, per tahun 2023 itu pula kami (Buku Seni Rupa) dipasrahi penuh mengelola Jogja Art Weeks. Di satu kesempatan, kepada Hukum dan Riyan, saya nekat mengusulkan, “bagaimana kalau membuat proyek rintisan (pilot project) untuk Jogja Art Weeks, semacam forum para penulis untuk mengapresiasi ARTJOG?” Maka Huhum dan Riyan segera melanjutkan usulan saya. Ringkasnya, sambutan positif pun kami terima dari pihak ARTJOG, dalam hal ini utamanya melalui peran Gading Paksi, juga sempat dimediasi Sarah Rayhana. Maka jelang akhir Mei, segera kami susun rancangan forum apresiasi ini sebagai pilot project.

Beruntung pula, nama program yang saya usulkan segera didukung dan disepakati teman-teman. Tersebutlah: GAS! (Gugus Apresiasi Seni) yang segera bersambut gayung dengan diterimanya undangan untuk mahasiswa/i pilihan dari lintas kampus di Yogyakarta. Sebagai pilot project, saya mencoba memilah mereka yang masih aktif berkuliah, agar mendapati perspektif segar dari angkatan muda. Menjelang awal Juni, tujuh orang telah bergabung bersama kami di halaman JNM Bloc, di antaranya: Aisyah Yasmira, Ardhias Nauvaly, Dian T. Wijaya, Hanan Syahrazad, Jody Dewatama, Juwita Wardah dan Venessa Theonia. 

Berfoto di bilangan JNM Bloc, tampak (Atas, kiri ke kanan) Adhi Pandoyo, Prajna Dewantara, Camilla Astari, Heri pemad, Bambang Toko Witjaksono dan Bambang Muryanto. Sebagian peserta GAS! (bawah, kiri ke kanan) Venessa Theonia, Juwita Wardah, Ardhias Nauvaly, Jody Dewatama dan Hanan Syahrazad. (Foto: Dok. ARTJOG)

Saya mencoba menengara bahwa secara metode, gugus apresiasi menjadi kanal yang mengundang anak-anak muda yang berkenan dan berkomitmen mengapresiasi dalam bentuk tulisan, terhadap karya-karya seni yang berlangsung di musim lebaran seni. Sebagai pemulanya, karya seni yang ada di ARTJOG menjadi sasaran tembak. Saat diskusi itu, Ardhias Nauvaly, atau disapa Dhias, sempat bertanya: “Apakah proyek ini komersil? Untungnya apa buat kami?”

Di satu sisi, pertanyaan itu menjadi bahan penting bagi proyek rintisan semacam ini, sebab telah menjadi kenekatan kami untuk mengundang tim GAS!, dengan tawaran secara cuma-cuma meluangkan tenaga, pikiran dan waktu mengapresiasi hingga menulis. Terlebih mengingat banyak penulis/jurnalis/pekerja seni yang menjadi pekerja rentan (precarious worker), dan tentu program ini tidak bermotif menambah daftar kerentanan yang ada. Kami sendiri menyisihkan dana yang tersisa di luar penggajian tim kerja internal kami, untuk kebutuhan-kebutuhan penyelenggaran rancangan aktivitas GAS!. Mulai dari hak co-card dan pengajuan free access bagi tim GAS! di seluruh kegiatan ARTJOG sejak pembukaan sampai penutupan, hingga mengundang pembicara tamu dan kebutuhan konsumsi. Sekali lagi ARTJOG mendukung penuh inisiatif GAS!

Hendro Wiyanto (kanan) sedang memandu curatorial tour, Ardhias Nauvaly (kiri) salah satu peserta GAS! turut serta. (Foto: Dok. Aisyah) 

Di sisi lain, saya yang mencoba mengawali program ini sebagai mentor, perlu meyakinkan tim GAS! maupun saya pribadi bahwa kinerja apresiasi dan kritik ini bertujuan untuk menyemai atmosfer kritik ARTJOG yang selama ini terbilang miskin, kecuali dari pesanan dan penulis senior yang berkepentingan. Barang siapa yang tergabung mestinya memupuk jaringan bagi generasi penulis angkatan muda untuk menyajikan apresiasi dan kritik.

Kami sangat bersyukur, semua tim GAS! menerima dengan positif dan memahami tujuan proyek rintisan ini. GAS! sendiri mencoba sedikit banyak mengambil nilai-nilai non-hierarkis/berjenjang, non-rutinitas ruang kelas, dan berbasis merespons fenomena/peristiwa seni itu sendiri. Dari situ kami berharap terbangun komunitas/kolektif yang menjalar bak rimpang (rhizomatic) melalui pelibatan langsung dan resmi, menjadi bagian dalam atmosfer internal ARTJOG berikut perjumpaan dengan beragam subjek aktif dan berpengaruh dalam medan seni rupa di Indonesia.

Dengan demikian ke depan, tim GAS!, kemudian turut terpantik dan terjalin kemungkinan menjadi subjek apresiator, kritikus, kurator, kolektor maupun seniman itu sendiri, atau bahkan lebih dari itu. Sampai sini jelas, GAS! layak diperlakukan sebagai gerakan menyemai sejarah seni. Dan praksis gerakan nyata, tetaplah platform terbaik untuk memenangkan sejarah!

Nge-GAS! Kritik: ARTJOG 2023

“...Tapi motif juga diartikan sebagai kehendak, dorongan, alasan dan tujuan seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau praktik tertentu. Itulah maknanya yang kedua. Pengertian motif yang kedua ini sangat dekat dengan motivasi, yakni kondisi, pikiran atau kesadaran tertentu yang menggerakkan suatu motif dikerjakan atau dipraktikkan secara nyata.”

Hendro Wiyanto, Kurator ARTJOG 2023 - 2025

Kembali perlu saya singgung, bahwa tradisi kritik seni rupa yang muncul di Indonesia memang terbilang unik, sebab ia tidak sepenuhnya tumbuh dari sebuah tradisi kritik seni rupa yang ketat dan teoritik seperti dalam “klaim kanon” sejarah seni rupa (di) Euro-Amerika. 

Namun, di tengah kebimbangan estetika (lihat pernyataan klasik Holt, 1967/2000), landasan teoretis, pergeseran wacana dan praktik kritik, hingga identifikasi seni rupa di Indonesia selama ini mustahil dilepaskan dari sejarah kolonialisme seni rupa Euro-Amerika, bahkan sangat mengadopsi perkembangan seni rupa kontemporer. Sementara dalam hal kritik seni di Barat sendiri, kanon sejarah dan teori pengertiannya hadir dalam perdebatan berkurun panjang dan demikian manasuka, baik yang masyhur semisal pendekatan Immanuel Kant (kritik yang melekat dalam akal budi –reason-) yang sedikit banyak menjiwai Clement Greenberg berikut kalangan modernis, walau tetap ada perbedaan penempatan pijakan dalam menghadapi karya (Arham Rahman, 2016: 3-5).

Tidak ketinggalan para pengkritiknya semisal dari Laurence Alloway (menekankan hubungan seni dan masyarakat), Hilton Kramer, Arlene Raven (seni dan feminis) hingga Lucy Lippard. Akan tetapi, secara sederhana, apa yang dilakukan oleh kritikus adalah “…like artists, have aesthetic and ethical values that they promote through their writing. When critics do their work well, they increase their readers’ understanding and appreciation of the art they write about, the political and intellectual milieu in which it is made, and its possible effects on the world.” (Barret, 2000: 27). Atau dalam bahasa lain, penulis kritik “...sesungguhnya telah mengekspresikan “rasa” yang lain dari yang dibawakan oleh seniman dan karyanya.” (Yuliman, 2020: 208).  

Salah satu tokoh, Edmund Burke Feldman berhasil membagi tipikal kritik seni, yakni Kritik Jurnalistik, Kritik Pedagogis, Kritisisme Ilmiah/akademis dan Kritisisme Populer. Sementara dalam kenyataanya, tradisi unik kritik seni yang muncul di/dari Indonesia adalah berbasis dari kritik pertama, yakni kritik jurnalistik (Siregar, 2006: x). Sementara, kritik seni jurnalistik yang hadir di masa-masa awal republik tersebut bukan berarti tanpa beban, sebab di samping keterbatasannya dan jangkauannya, belum lagi kondisi timpang sebab hampir seluruhnya didominasi kritik dari laki-laki dan subjek pembahasannya juga dominan laki-laki. Namun hal yang paling fatal adalah ketika kritik banyak ditulis di media, tetapi juga cepat dilupakan, sehingga menjadi tulisan tanpa pembaca, tak dipedulikan (Bujono, 2011: 34)..

Dari salah satu catatan kritik yang beredar di surat kabar, Sudarmadji, seorang kritikus senior cum dosen dari ISI Yogyakarta, pernah menjelaskan bahwa kritik sederhananya dimulai dari “apresiasi melalui panca indra, lalu bergeser menuju akal dan pikiran untuk diolah menjadi tulisan, maka kita telah masuk ke dalam kritik seni.” (Sudarmadji, 1980). Dari sini apresiasi tetap menjadi tahap utama menuju kritik seni.

Baru kemudian setelah karya dan peristiwa seni telah dicerap, kita bisa memulai menuliskan kritik dengan setidaknya tiga tahapan, yakni: 1] Deskripsi, 2] Interpretasi dan 3] Penilaian (Barrett, 2000:158 - 160). Tiga hal inilah yang diimbangi dengan pemahaman teori sesuai konteksnya, sebab tidak ada teori seni yang benar-benar global atau berlaku universal di seluruh dunia (Elkins, 2021: 74); hingga kemauan dan kemampuan menuliskannya. Memang Barrett menekankan bahwa setelah tiga tahapan, perlu adanya pertimbangan atas asumsi penilaian yang telah ditemukan. Kendati telah berpijak pada teori sekalipun, tetap dibutuhkan pertimbangan kembali atas simpulan dari apresiasi tertulis tersebut (considering assumptions). Dalam hal inilah keperluan mendiskusikannya kembali, menjadi upaya penting, baik kepada seniman, kurator hingga para penyelenggara pameran. dasar itulah mengapa GAS! berupaya sebagai kanal apresiasi yang membersamai peristiwa, sehingga memfasilitasi aspek-aspek transisi dan tahap dari apresiasi menjadi kritik. 

Oleh karenanya, GAS! selain memberi kebebasan mengakses dan memilih karya yang ada di ARTJOG, juga kami siapkan dua sesi diskusi. Pertama, diskusi dengan dua jurnalis seni senior. Kedua, sesi bersama pihak direktur dan kurator  ARTJOG secara eksklusif, di luar sesi tur kuratorial. Sesi pertama dimulai oleh teman-teman GAS! pada senin siang yang panas di kantor AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Yogyakarta. Acara yang disokong sekolah Jurnalistik SK Trimurti yang dimiliki AJI ini berlangsung selama dua hari (31 Juli – 1 Agustus 2023), dengan dipandu oleh Bambang Muryanto dan Raihul Fadjri.

Sesi diskusi Jurnalisme Seni bersama Raihul Fadjri (kiri) dan Bambang Muryanto (kanan) di markas AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Yogyakarta. (Foto: Dok. Jogja Art Weeks)

Dalam soal jurnalisme seni inilah, telah sampai pada dua persoalan, yakni jurnalisme itu sendiri, dan kritik jurnalistik. Jika tujuan dari jurnalisme seni salah satunya adalah bagaimana hasil apresiasi bisa diliput menjadi pesan yang dapat diinformasikan dan dibagikan untuk disebarluaskan melalui tulisan dan dimuat di media massa hingga difoto atau direkam kemudian diunggah menjadi konten media sosial. Dalam sesi pertama, Bambang Muryanto memberi pemaparan padat tentang bagaimana dasar-dasar jurnalisme, sebagai basis meliput karya dan peristiwa seni. 

Maka dalam sesi hari kedua, Raihul Fadjri mulai memaparkan pengalaman melakukan kritik jurnalistik. Dalam hal ini kritik jurnalistik secara tertulis menjadi pembahasan diskusi teman-teman GAS!. Sebab menjadi persoalan tersendiri ketika bagaimana tulisan ulasan karya seni bisa layak dan cukup untuk dimuat dalam media massa cetak maupun digital? Demikian pula utamanya, bagaimana tulisan bisa dibaca dan diterima publik seni secara luas baik kalangan profesional seperti seniman, kurator, kolektor dan sejarawan seni, hingga kalangan awam sekalipun.

Sesi foto bersama setelah diskusi Jurnalisme Seni. Tampak (atas kiri ke kanan) Ripase Nostanta, Luna Chantiaya, Mutiara, Juwita Wardah, Raihul Fadjri, Januardi Husin (Ketua AJI Yogyakarta), Huhum Hambilly, Aisyah Yasmira); dan (bawah kiri ke kanan) Adhi Pandoyo, Darryl Haryanto, Jody Dewatama dan Ardhias Nauvaly. (Foto: Dok. Jogja Art Weeks) 

GAS! Memang mengedepankan dua jargon: yakni apresiasi, dan gugus. Jika apresiasi adalah upaya menikmati dan menghargai karya seni, lantas ungkapan mediumnya adalah melalui tertulis. Dalam hal upaya mengungkapkan apa yang dialami selama mengapresiasi inilah, GAS! sengaja mewadahi dalam bentuk tulisan dan fotografi, Sehingga setiap subjek apresiator menuliskan hasil apresiasinya dan juga memotret karya yang ia pilih. Dalam hal inilah, praktik kritik seni telah lunas.

Giliran sesi kedua, yang berlangsung pada 3 Agustus 2023 di JNM Bloc, persis di belakang gedung pameran ARTJOG, para tim GAS! bertemu langsung dengan dua pelaku utama dalam penyelenggaraan ARTJOG, yakni Heri Pemad, selaku direktur dan Bambang Toko Witjaksono yang menjadi kurator in-house atau tetap. 

Sesi bincang “Mengapresiasi ARTJOG”, tampak (kiri ke kanan) Juwita Wardah, Bambang Toko Witjaksono dan Heri Pemad. (Foto: Dok. Jogja Art Weeks) 

Dalam momen pertama, Heri Pemad memaparkan bagaimana upaya ARTJOG selama kurang lebih 15 tahun, mengalami tantangan yang beragam. Sebagai institusi penyelenggaran pameran, ARTJOG selalu berupaya bergerak di antara potensi dan kerja pasar seni, dengan pewacanaan seni rupa kontemporer itu sendiri. Hal ini menjadi label tersendiri yang membuat ARTJOG menjadi unik, terlebih melekatnya pada identitas Yogyakarta, kemudian menjadi persoalan yang beririsan dengan lembaga pemerintah, mengingat ARTJOG memicu animo pariwisata.

Sementara Bambang Toko, secara garis besar menjelaskan bagaimana karya-karya ARTJOG yang ada tahun ini memiliki pertimbangan panjang, terlebih dengan tema tiga tahunan yang akan berlanjut, yakni MOTIF: Lamaran, MOTIF: Ramalan, dan MOTIF: Amalan. Di satu sisi momen ini menjadi tahapan pengumpulan data secara jurnalistik sekaligus menebalkan deskripsi karya dan perbaikan atas interpretasi awal. Namun di sisi lain, bagi mereka yang telah mencapai tahap riset dan penilaian (judgement), pertemuan ini menjadi ajang menguji asumsi tentang karya ARTJOG. Semoga tuntas sudah upaya dan gerakan pilot project GAS! dalam menggadang motif apresiasi dan kritik. 

Untuk memudahkan dan membebaskan pembacaan, susunan kumpulan tulisan GAS! ini disusun mengikuti abjad nama penulisnya. Adapun dari ketujuh tulisan yang ada, secara berturut-turut membahas karya-karya dari: Leonard Suryajaya, Yudha “Fehung” Kusuma Putera, Audya Amalia, I Made Djirna, Teater Garasi, Novi Kristinawati, dan Dicky Takndare dan The Sampari 

Aisyah Yasmira atau yang akrab dipanggil Mira sengaja memilih menulis dari pengamatannya atas karya dwimatra Leonard Suryajaya, di mana Mira banyak mempersoalkan isu-isu personalitas dan sejarah hidup Leonard Suryajaya, sebagai landasan karyanya, disusul dilema identitas dan tawaran-tawaran kosmopolitanisme yang ada. Kemudian, Ardhias Nauvaly, yang akrab disapa Dhias justru memilih video karya Yudha Fehung sebagai Waste Colonialism, bertaruh dengan permainan medium, di mana Dhias mengkritisi dengan tajam posisionalitas video dan pemilihan footagenya, cukupkah video (sampah) meneror penonton? Tulisan dengan judul utama yang singkat, padat dan nendang dari Dhias inilah yang juga kami ambil menjadi judul buku GAS! edisi perdana ini.

Ketika bergeser ke tulisan ketiga milik Dina T. Wijaya, giliran karya instalasi Audya Amalia yang menjadi sasaran, yakni bagaimana rambut dalam “Things Left Unsaid on The Edge of Her Finger” dianggap Dina sebagai pencapaian isu seni dan teknologi, namun apakah ia berhasil menjadi kritik pada hasrat manusia itu sendiri? Sementara Hanan Syahrazad dalam tulisan keempat menyasar karya instalatif paling riuh dalam ARTJOG 2023, yakni karya “Akah” dari Made Djirna. Ada upaya Hanan untuk mencoba mendeskripsikan dan mendudukkan kepekaan Djirna dalam menghadirkan kontemplasi, terapi hingga benda-benda di sekitar tradisi hingga agama. Berhasilkah cara Djirna itu menghadirkan kritik kemanusiaan di hadapan alam?.

Isu alam itu sendiri yang agaknya mengilhami subject matter banyak seniman di ARTJOG, sebagaimana sejalan dengan upaya pembacaan Jody Dewatama terhadap Teater Garasi. Teater Garasi yang “Menyingsingkan Waktu, Membelah Sapiens dan Menyetubuhi Antroposen - Sampai Paradoks” bagi Jody adalah strategi penyampaian duka ekologis, kompleksitas zaman di mana lapisan subjek retak di antara ceruk digital-virtual dan yang nyata. Namun apakah segala yang diproyeksikan Teater Garasi adalah benar seperti yang Jody tengara sebagai eksperimentasi segala hal yang tidak harus selalu punya makna?

Akhirnya dua tulisan terakhir dalam buku ini akan terfokus pada karya trimatra, yakni arsitektur Novi Kristinawati dan patung Dicky Takndare dan The Sampari dalam ARTJOG. Dalam mana Juwita Wardah membaca keterhadiran karya Novi dalam celah dan area tangga, menjadi signifikansi tersendiri. Sehingga bagi Juwita,  Novi adalah subjek seniman yang mengapropriasi arsitektur sebagai seni rupa, kalau bukan sebaliknya?

Sementara di bagian akhir Nessa Theo menjabarkan pembacaannya atas patung monumen dalam ARTJOG 2023. Patung sebagai salah satu wajah seni rupa trimatra yang paling awal, kemudian berhadapan dengan cita-cita kekuasaan yang klasik, yakni hasrat kekuasaan membangun seni patung sebagai kekuatan dan klaim monument(al). Nessa salah satunya meyakini bahwa di tengah godaan “blunder” dari upaya Dicky Takndare mengapropriasi monumen yang dibuat penguasa, untuk ditiru dan didistorsi-dimaknai ulang; toh “AAAAAHHHHH” tetap mungkin menjadi pemantik bagi publik seni yang hadir untuk memikirkan amarah, kesakitan dan sedih, marginalisasi, hasrat mengejar kebebasan, dan ratapan orang-orang Papua. Sudahkah kita benar-benar prihatin?

Izinkan pengantar ini tetap mengantarkan pembacaan, sehingga tulisan ini tidak bermotif mewakili isi dari ketujuh tulisan yang akan pembaca hadapi. Pungkas kata, dengan segala keterbatasan dan kekurangan penyunting, kami haturkan: Selamat membaca, Selamat Nge-GAS! 

  • Soboman no. 234 RT 06 DK.X, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, DIY, Indonesia 55182
  • jogjaartweeks@gmail.com