Bagaimanapun cara kita membaca karyanya, Sudar tetap akan memelihara kecemasannya. Dia tidak peduli apakah karyanya akan dinikmati, atau hanya lembaran kanvas dengan urat filosofi yang simbol tanpa batasnya akan diabaikan begitu saja. Sudar tidak risau, apakah penikmat karyanya jadi punya alasan untuk berintrospeksi akan perilaku kepada alam; atau menegasikan rasa tidak enak saat menatap kanvasnya, kemudian menganggap bentangan alam ganjil di depannya sekedar wakil jaman. Sebuah jaman di saat yang kekal, ternyata hanya perubahan.