Pekan Seni Jogja, dari Pohon Sampai Batu

Berapa usia pohon Beringin di halaman JNM Bloc? 50 tahun, 75, 100, lebih? Ia nampak lebih rimbun daripada pasangan Beringin di Alun-alun Keraton Jogja, baik Utara, maupun Selatan yang telah ditanam sekitar 2,5 abad lalu. Akar-akarnya jatuh langsung dari atas percabangan, tahun demi tahun ia menjelma menjadi batang besar nan kokoh.

Pada sore yang cerah, ketika duduk di tangga kuning ikonik, ataupun berada di tatanan khusus meja dan kursi, Anda bisa merasakan satu dari pengalaman indah. Diterpa cahaya matahari menembus dari pohon yang bersaksi atas peristiwa-peristiwa seni legendaris. Titik-titik sinarnya menyoroti graffiti Tuyuloveme sepanjang 10-an meter, menjadikan gambar lebih hidup. Berpadu dengan lanskap olahan arsitektur 60-an, serta lalu lalang dan lingkaran warga fashionable 2022, yang berbelanja menggunakan barcode. Ini adalah pengalaman seni dalam pengertian luas. Kiranya, jutaan foto-video telah mengabadikan dan mewartakan tempat ini.

Sore itu, 26 Juni 2022, adalah hari penuh persiapan bagi Karim dan teman-teman kolektif seninya, Titik Kumpul Forum, untuk melangsungkan pembukaan pameran yang terinspirasi dari fenomena populer di twitter bertajuk “From This to This”. Titik Kumpul Forum beranggotakan 14 orang, mereka adalah mahasiswa seni angkatan 2019 dari Jurusan Seni Murni, baik konsentrasi Lukis dan Grafis. Adapun Tarisya Amalia dari Tata Kelola Seni berlaku sebagai Manajer Pameran.

Selama kurun 5 tahun terakhir, jurusan Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta secara strategis hadir mengisi praktik-praktik kerja manajerial seni. Kini Anda bisa dengan mudah menemukan peran dan kerja mahasiswa atau lulusan Tata Kelola Seni di berbagai perhelatan kesenian, ini memang fenomenal! secara khusus Jogja. Manajer pameran seperti Tarisya penting untuk menyampaikan pidato terkait proses persiapan pameran.

Membuat kelompok, aktif berorganisasi, dan menggelar kegiatan seni umum dijumpai. Sudah seperti bagian tradisi turun temurun, setidaknya sejak berdirinya kampus seni ASRI (1950) . Beberapa kelompok seni legendaris pernah lahir atau bersinggungan dengan Kampus, kini ISI Yogyakarta, seperti banyak dijumpai pada buku-buku, contohnya Sanggar Bumi Tarung periode 60-an, Gerakan Seni Rupa Baru 70-an, Surealisme Yogya 80-an, Taring Padi 90-an, Mes 56 2000-an, dan sekian banyak jumlahnya pada dekade 2010-an yang masih terus dalam proses menjadi dan untuk segera terbukukan selaras dengan gejolak perubahan yang memonumenkannya. Tentu monumen dalam jumlah banyak.

Tanpa perlu memperbandingkan seberapa dalam atau dangkal presentasi para perupa kini dengan generasi sebelumnya, yang pasti kelompok seni terus muncul dan ada, banyak juga yang hilang. Ia menjadi bagian proses berkesenian yang terus mengiringi zaman demi zaman. Bahkan di tengah gaya hidup yang lebih fokus mengakomodir peran individual, nyatanya sampai kini Jogja terus membuktikan bahwa keseniannya terbuat dari komunitas-komunitas, “yang patah tumbuh, yang hilang berganti...” spiritnya senantiasa mengalir.

Momen pembukaan pameran disakralkan dengan upacara-upacara peresmian. Kelompok Titik Kumpul Forum bersepakat memilih Gintani Swastika, seniman, member Ace House Collective, Direktur Biennale Jogja 2021, yang bagi mereka seperti meminta restu untuk menapaki langkah perjalanan seni lebih lanjut. Pembuka pameran biasanya dipilih adalah tokoh terhormat sebagai representasi relasi, semangat kelompok atau individu. Dari sana interaksi dan jejaring dibangun, peta dijelajahi, medan pun bergerak. Pembukaan pameran selalu jadi point simbolik sekaligus legitimatif.

Sore menjadi romantis ketika Gintani bercerita sembari mengamati pemandangan di sekelilingnya, “galeri pameran ini dulu Studio Patung ISI lama,” ia lalu melempar pandang ke areal Beringin dan Pendopo Ajiyasa yang tidak banyak berubah, di sana teman-temannya kerap berkumpul untuk berdiskusi menguji gagasan. Gintani memberi penekanan bahwa pertemanan adalah landasan dalam berkesenian, “kita memilih hidup sebagai seniman, atau bekerja di dunia seni, kita tidak bisa sendiri, jadi setidaknya ketika kita percaya hidup di sini, bergabunglah dengan orang-orang yang juga percaya akan pilihan kita dan mendukungnya,” terang Gintani segera diamini tepuk tangan para calon-calon seniman masa depan.

“Pengunjunge edyiaaaan (gila)...” respon Awi Nasution di hari ke-3 pameran berlangsung. Pengunjung tiba-tiba melonjak drastis “kayak pasar,” jumlahnya melebihi kapasitas orang di ruang pamer, idealnya 25-30 orang. Panitia segera disibukkan dengan pengelolaan antrian pameran, sehingga pada hari berikutnya diberlakukan wajib registrasi dan terbagi dalam beberapa sesi kunjungan, meski antrian tetap memanjang. Awi adalah peserta pameran juga bertugas sebagai panitia, baik di lokasi pameran sesuai jadwal maupun berjaga di sosial media merawat publikasi. Ini “gara-gara tiktok!” ucapnya antara jengkel dan senang.

Salah satu konten diunggah oleh pemilik akun tiktok @mutiara_ara di hari pertama pembukaan pameran berhasil fyp di beberapa akun. Lalu disusul bertubi-tubi oleh @harisalhaqlbs (117,k) pemirsa @palichamega (306,7k) dst. jelas membuat panitia kelabakan. Hari-hari pameran berlangsung seru meski Awi sempat terpancing emosi karena beberapa perilaku para pengunjung, dari yang melilit-lilit salah satu material kertas di badan, memegang yang tak boleh dipegang, bahkan ada yang menjilat-jilat karya! Perilaku macam ini memang dalam kesadaran kamera ponsel, “yah, jadi makin tahu tipe-tipe pengunjung,” kata Awi.

Dari kejadian itu kemudian panitia berembug untuk merilis publikasi semacam tata cara mengunjungi pameran. Tidak kreatif namanya kalau bukan mahasiswa seni. Mereka lekas menerbitkan konten melalui akun tiktok @titikkumpulfrm dengan cara kocak, sebab “kalau maen tiktok itu kan otaknya harus dilepas dulu ya..” terang Awi. Hasilnya adalah feed “hal-hal yang tidak boleh dilakukan di pameran part 2.” setidaknya berhasil mengedukasi 1,2 juta pemirsa, salah satu contoh larangannya seperti “sleeding tackle pengunjung lain.” Secara kilat, konten edukasi pameran lekas dimanfaatkan sebagai guiding oleh para tiktokers yang barangkali akan mereka terapkan di pameran lain.

Pengelolaan sosial media semakin diakui menjadi salah satu strategi penting dalam keberhasilan pameran. Semakin banyak jumlah penyelenggaraan pameran kini cenderung memiliki dan mengelola akun sosial media sesuai kapasitasnya masing-masing, sudah seperti kewajiban. Dunia sosial media memang sebuah keterampilan, ia tidak hanya cukup ada, tetapi juga maintenance dan treatment. Sosmed jadi wahana pertempuran mengakselerasikan gagasan di tiap feed pada kejamnya sistem algoritma. Hasilnya adalah sesuatu konkrit yang tersaji lengkap pada laporan engagement, di situlah prestasi Anda, baik sebagai subjek maupun objek. Like, comment, share, follow, subscribe adalah reputasi. Hubungannya timbal balik dengan apa yang ada di ruang pamer.

Pameran “From This to This” diangkat, dirawat, dirayakan, dan diabadikan dalam sosial media, lalu lebur dalam interior Jogja National Museum. Tetapi mengapa Titik Kumpul Forum memilih ruang di Paviliun JNM Bloc lantai 3? Melangsungkan “Pameran di Bulan Juni”? Seturut Karim, karena momennya pas! Pandemi sudah berlalu, venuenya strategis, juga mendekati penyelenggaraan ARTJOG. Masa liburan sudah dimulai, sehingga banyak sekali tamu dari luar kota datang. Selama 10 hari pameran berlangsung tercatat ada 4985 kunjungan, puncaknya dalam sehari berhasil menggaet 856 tamu.

Sebagai perupa muda “kami secara kolektif butuh mencari relasi dan teman baru,” maka keramaian menjadi momentum yang tepat untuk memperkenalkan diri. Di saat galeri Jogja National Museum tengah mempersiapkan pameran ARTJOG, JNM Bloc lekas menjadi rute wara-wiri peserta terlibat. Salah satu berkesan adalah berkenalan dengan seniman yang tengah mengolah topik “Expanding Awareness”, Gilang Mustofa dari Bandung. Mereka menjadi akrab dan banyak bertukar obrolan seni, selanjutnya saling berkunjung antar ruang pamer untuk mengapresiasi karya satu sama lain. “Menurutku, lebaran seni nggak stuck saat di opening ARTJOG, ada banyak pameran lain digelar sebelum ARTJOG dan aku cukup antusias,” kata Karim.

Lebaran Seni? Apa itu?

Dari pojok etalase tenant JNM Bloc terlihat Angki Pu, mengenakan celana hotpant, rambut mengerucut dikucir dua, kerap hilir-mudik menyambut teman-temannya. Angki Pu adalah seniman fotografi kontemporer, member MES 56, dan aktivis legalisasi ganja bersama Lingkar Ganja Nusantara. Entah berapa kali ia bersalaman, menyapa, dan saling memperkenalkan orang di sekitarnya. Kesibukannya mengurus karya bareng Alex Abbad untuk ARTJOG nampak sama sibuknya dengan pertemuan bersama teman-teman. Wajahnya Angki penuh keceriaan, auratik. Banyak orang tidak akan menyangka, kalau dia berusia 50 tahun. Konon, kesenianlah yang membuatnya semakin muda.

Berapa banyak Angki telah mendengar kata “Lebaran Seni”? baik di sudut JNM maupun di ruang-ruang ia beranjak?

Lebaran Seni

Sebagai Kota Budaya, Yogyakarta tidak pernah sepi akan kegiatan Seni. Semua jenis kesenian hidup, sebutlah sastra, pertunjukkan, musik, seni rupa, film dan lain-lain. Belum lagi model presentasi masing-masing, dari yang bersifat warisan, populer, kontemporer, hingga alternatif semuanya ada. Meski perkembangannya tidak selalu menggembirakan juga nasib para pelakunya tak selalu mujur. Dari kekayaan ini Pemerintah Kota Jogja berusaha merawatnya dengan anggaran Dana Keistimewaan sebesar 1,32 triliun (2022)? Tetapi masih saja kurang, tidak semua kebagian?

Nyatanya, seni terus berkembang dengan atau tanpa modal. Perkembangan itu ditunjang dengan berbagai upaya, yang entah dalam proses seperti apa sehingga pada satu momen menjadi perayaan bersama sebagai kemenangan? Seperti terjadi pada “Lebaran Seni”, kosa kata ini terdengar baru dan seru. Lebaran seni adalah sebuah dinamika dan menarik sebagai fenomena.

Tidak jelas kapan lebaran seni itu ada, kapan dimulai dan berakhirnya juga tidak pasti “wong tanggalnya tidak ada, tempatnya juga tidak ada” kata Yuswantoro Adi, seniman dan pengajar kelas “Art for Children” Taman Budaya Yogyakarta. Menurut Yus, lebaran seni mungkin bermula sekitar 5-6 tahunan lalu, sebelum pandemi, guna menandai ketika berlangsung pameran yang sangat besar bernama ARTJOG.

Sehingga membuat banyak sekali ruang-ruang dibuka, program-program dijalankan, pertunjukkan digelar. Tidak hanya pada seni rupa, tetapi beragam tempat dan komunitas seni menjadi sangat aktif. Misalkan, beberapa ruang tidak terbiasa membuat pameran, maka di saat Hari Raya Seni Rupa, seniman “open studio”, memajang karya dan menerima banyak tamu. Waktu itu “ya secara guyon, karena kita banyak salaman… ya seperti lebaran,” kata pelukis uang Jokowi yang pernah viral.

Tahun 2016 secara kebetulan Yuswantoro jadi MC dalam pembukaan pameran Yogya Annual Art #1 “Niat” di Sangkring Art Space. Tapi waktu itu Yus dan teman-teman menyebutnya sebagai Hari Raya Seni Rupa, dalam upacara peresmian ia mengucapkan “Marhaban ya pameran, selamat datang…” Frasa itu kemudian bergulung hingga kini banyak orang-orang akrab dan menyebutnya sebagai Lebaran Seni. “Tahun 2018 kami mencatat selama lebaran seni ada 170 acara berlangsung, pelukis Nasirun bangga karena ikut 8 pameran, tapi ternyata masih kalah dengan Laksmi Shitaresmi yang ternyata mengikuti 11 pameran.’

Yus merayakan Lebaran Seni Rupa, mengamati lingkungan dan senang melihat progress orang-orang muda, “oh ternyata karyanya bagus-bagus,” ia jadi banyak kenal teman-teman muda. Hari Raya itu sebenarnya imajiner yang sengaja dibikin-bikin, lalu menular begitu saja, “tapi pokoknya pas ARTJOG adalah Hari Raya Seni Rupa!” tutupnya.

Tidak semua warga, khususnya warga seni merayakan dan nyaman dengan lebaran seni. Agung Kurniawan, seniman dan pengelola Kedai Kebun Forum sempat menulis di medsosnya, “Lebaran seni rupa? Cih! itu hanya hadiah bagi yang berpunya,” tulisnya. Agung menyimak bagaimana gemuruh seni rupa membuahkan apresiasi publik terhadap pameran-pameran seni merupakan kabar baik. Hal ini dipengaruhi oleh gaya hidup yang diakomodir perangkat digital sejenis gawai. Galeri bisa hidup dengan penjualan tiket, membayar tiket “tak terbayangkan 10 tahun lalu.” Namun, apakah fenomena tersebut sudah menguntungkan bagi seniman secara finansial?

“Jangan-jangan inilah masa depan seni rupa kita hari ini; jadi pelengkap dahaga pencitraan sosial media saja. Organizer seni bahagia, penonton ria suka cita dan seniman merana tanpa harta,” tutupnya. Komentar Agung patut disimak sebagai bahan untuk selalu mawas dan mengajak kita berlaku fair – di tengah Seni Rupa semakin minim kritik dan evaluasi. Pernyataan Agung perlu untuk terus diangkat ke permukaan.

Circle Seni

Lapak-lapak Pedagang Kaki Lima di Malioboro kini sudah tidak ada, mereka direlokasi menuju satu tempat terpadu “Teras Malioboro” tak jauh dari lorong-lorong pertokoan yang kini terasa kosong. Pada malam hari, Anda bisa menyaksikan tagging-tagging graffiti, karakter Love Hate Love, atau beberapa coretan geng dari barisan pintu-pintu toko tertutup. Wajah Malioboro kini tengah ditata, disusun dalam lembaran-lembaran proposal Warisan Budaya UNESCO. Garis Sumbu Filosofi Keraton Jogja sepanjang Tugu Golong-gilig hingga Panggung Krapyak berangsur dalam penataan.

Siapakah pemuda yang “masuk menemu malam” menjereng-renteng sekumpulan kata-kata wheatpaste abad 21 pada “tembok panas” Jembatan Kewek, sebelah Timur Stasiun Tugu. Di sana tertulis “Selamat merayakan Lebaran Seni bagi seniman yang merayakan, yang belum bisa merayakan mungkin sirkel seninya kurang asik.” Tak dinyana, kalimat keren itu memantik perbincangan Seni Rupa hari ini. Diketahui kemudian kata-kata ini tersebar di beberapa titik, seperti Perempatan BausasranMunggurdan lain-lain.

Akun instagram @bukusenirupa segera digeruduk like dan komentar ketika mengunggah foto mural tersebut, responnya menggelitik dan menarik untuk diulik karena banyak menyasar perbincangan soal circle;

“Iye iye yang paling seni”

“dijelekin sudah pasti, sikut, tendang, kick demi sebuah validasi, sudah pernah merasakan grup wa cuman gada lu nya?”

“sori aku individual dan masih mlarat”

“wkwkwkw, thank you nft sirkel seni aku tetap ideal terawat terjaga wangi bersih dan fancy berkat kalian semua”

disusul 190-an komentar lainnya. Dokumentasi mural segera merayap memasuki grup WA maupun obrolan-obrolan menguap di antara warga seni.

Tembakan-tembakan komentar mengenai circle lekas diasosiasikan dengan keberadaan kelompok, kolektif, komunitas, atau juga tongkrongan suatu kaum seni yang khas. Kemunculan narasi-narasi tersebut berusaha menelaah Medan Seni, tentang bagaimana orang-orang seni berkumpul, bekerja, bersekongkol, hingga bersaing, baik antar kelompok maupun individu di dalamnya.

Sorot lampu ruang pamer acapkali menyilaukan mata dan menyihir para pemirsa sehingga perbincangan tentang pelaku-pelaku di baliknya seringkali terlupa. Narasi besar seni rupa umumnya berkisar pada kekaguman-kekaguman akan karya dengan prestasi-prestasi membanggakan para seniman. Kritik dan evaluasi atas jalannya seni tidak mendapat banyak ruang, gagal bergulung menjadi isu publik. 

Medan Seni, seperti diucapkan Albertus Rusputranto, adalah dunia pertarungan, sebab dunia kesenian tidak netral. “Tidak semua orang boleh terlibat di dalam medan seni; tidak semua orang yang bisa membuat benda-benda atau peristiwa-peristiwa artistik boleh disebut seniman, sehebat apa pun dia; tidak semua benda atau peristiwa artistik boleh disebut karya seni, sehebat apa pun itu.”

Selama masa lebaran seni, paling tidak, hingga september 2022 mendatang, Anda bisa menyimak medan seni di seantero Jogja dalam berbagai kegiatan. Melakukan wisata seni dari circle ke circle, mulai dari Jogja National Museum, Ace House Collective, Sangkring Art Space, Ruang MES 56, Taman Budaya Yogyakarta, Survive! Garage, Jogja Gallery, Kelas Pagi Yogyakarta, Bentara Budaya, Cemeti Institute, Kedai Kebun Forum, Sarang Building, Gajah Gallery, dll. Menikmati pameran dari ruang ke ruang adalah juga mengunyah presentasi politik seni dari circle ke circle.

Tapi amatilah, tidak banyak yang berubah dari komposisi para regu seni di Jogja selama 20 tahun terakhir. “Acaranya itu, tempatnya itu, orangnya itu, modelnya itu, pemainnya itu...” Seumpama isu circle seni bisa membedah bagaimana ini bisa terjadi, tampaknya makin seru!

Malam jatuh di Gajah Gallery, pameran “Offbeat” baru saja dibuka pada 6 Juli 2022. Malam itu adalah panggung perdana bagi Frank The Stone. Frank berasal dari sungai Gendol Merapi sengaja turun ke medan laga seni kontemporer. Ia memulai kunjungan ke kota-kota dan siap melanjutkan perjalanan antar Negara. “Jika kalian bertanya bagaimana hubungan manusia dan alam kini? keberadaanku adalah wujud nyata dari pertanyaan itu sendiri,” itulah narasi Frank untuk karya perdananya.

Sebagai Performance Artist, Frank baru saja memulai “super long duration performance” yang akan melebihi lama performance seniman manapun. Plan seni terdekatnya ingin segera menuju Jepang sebelum dia pergi ke Bulan. Tapi perjalanan seni Frank nampak akan lebih berat dari seniman manapun. Saat ini masih sulit untuk Frank berada dalam circle-circle yang cocok untuk dirinya agar mendapat banyak privilege. Bukan karena apa, karena Frank adalah batu.