Karena Seniman Tak Sepenuhnya Merdeka

Jika karya seni adalah gambaran atau tiruan dari realitas sosial, lalu apakah seorang seniman sungguh-sungguh merdeka bersama karya seninya?

Barangkali pertanyaan di atas bisa jadi titik berangkat untuk melihat karya seniman Riyan Kresnandi berjudul Reconnected Access Memory (RAM Museum) yang dipamerkan dalam ARTJOG MMXXII: Arts in Common - Expanding Awareness 2022 di Jogja National Museum, Yogyakarta.

Perihal kata ‘kemerdekaan’ itu sendiri, tentu dapat dimaknai secara beragam dan universal tanpa paksaan apapun. Kita bisa saja tumpang-tindih menyebut merdeka adalah bebas dari penjajahan bangsa lain, merdeka dari rasa takut, merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kebodohan, merdeka berpendapat, merdeka berserikat, juga merdeka untuk mencari pekerjaan yang layak. Apapun itu, ada baiknya jawaban tadi tetap kita simpan masing-masing. 

Hampir tak ada yang menyangka kalau karya yang dikerjakan oleh Riyan ini cukup ‘bandel’ dihadirkan dalam sebuah pasar seni rupa kontemporer termahsyur di Yogyakarta, atau barangkali juga Indonesia. Melalui karya RAM Museum, Riyan merangsang kembali ingatan kita untuk menilik beragam peristiwa kebudayaan yang terjadi setelah masa Orde Baru. Puluhan kasus dikumpulkan dengan menyorot beragam karya yang dianggap ‘bandel’ oleh sekelompok golongan. Hampir seluruhnya dokumentasi tersebut dicomot dari arsip media cetak dan media digital.

Dalam bentangan waktu lebih dari dua dekade, era Reformasi nampaknya masih menyisakan wajah-wajah lama dalam tampilan yang mungkin berbeda (mungkin juga tidak). Kuasa Orde Baru di masa sebelumnya, tentu begitu mudah meredam (baca: membungkam) gejolak sosial yang dianggapnya tak sehaluan. Lalu bagaimana dengan yang terjadi di dunia kesenian di masa Reformasi?

RAM Museum telah menengok ke belakang dan membentangkan arsip penting kebudayaan, setidaknya sepanjang tahun 1999 hingga 2022, tentang apa saja yang terjadi dengan seniman dan karya seninya. Dari arsip seni ’bandel’ ini, Riyan seolah-olah sedang ngece teman-temannya dengan mengatakan kalau seniman tak sepenuhnya merdeka.

Membungkus Arsip ‘Bandel’

Kemajuan teknologi membawa pengaruh yang besar bagi banyak orang untuk beradaptasi dengan modernitas. Tak jarang beberapa orang justru terlihat gagap melangkah di era informatika. Setidaknya selama dua tahun belakangan ini, aspek kehidupan hampir-hampir bergantung sepenuhnya pada kemajuan teknologi dengan memanfaatkan fitur virtual, digitalisasi, dan jaringan komunikasi elektronik (internet) untuk saling terhubung di masa pandemi.

Merespons hal ini, Riyan kemudian memanfaatkan medium virtual untuk memindahkan arsip seni ‘bandel’ ke dalam satu wahana permainan. Berkolaborasi dengan komunitas game Indonesia Mineversal dan Unibuild (MIVUBI) dan menggandeng kurator Karen Hardini, Riyan menciptakan ruang pamer arsip atas peristiwa kebudayaan ‘bermasalah’ yang terjadi di masa Reformasi.

Terdapat sekitar 76 kasus terlacak yang kemudian 18 di antaranya dikreasikan ulang dalam museum virtual. Riyan dan tim, membagi arsip ini ke dalam 4 server berbeda, di antaranya server film, server buku, server aktivisme, dan server musik. Bejubel karya ‘bandel’ ini sudah pasti dipilih karena berhasil dicap sebagai ‘karya bermasalah’. Hal ini dapat ditelusuri berdasarkan reaksi sosial atas karya seni tersebut, misalnya mendapat tindakan represif, social media bullying, digeruduk massa, dipersekusi sekelompok masyarakat, hingga penghilangan/penghapusan karya. Semua itu dikemas Riyan menggunakan empat instalasi seni yang masing-masing tampil dalam medium yang berbeda.

Pada instalasi utama, Riyan masih menunjukkan spesialisnya dengan menggunakan medium video game. Instalasi ini menghadirkan museum virtual dalam wahana game Minecraft. Menariknya, para pengunjung diajak berpetualang di dunia virtual, memasuki gedung museum, dan melihat karya-karya seni terlarang yang sudah disusun sedemikian rupa.

Pemilihan medium ini sepertinya menjadi siasat Riyan untuk menghadirkan arsip ‘bandel’ tadi ke dalam medium yang lebih alternatif, eye cathing, dan kekinian. Kenapa eye catching? Sebab instalasi ini hadir dengan tembakan layar proyektor, speaker mini, dan sebuah joystick (game controller). Ketika masuk dalam ruang, pengunjung bisa langsung meraih joystick dan memainkannya dengan visual layar yang cukup besar. Ya semisal tak sempat memainkan karena ada orang lain yang bermain, paling tidak kita masih dapat menikmati petualangan museum virtual dengan menontonnya saja.

Aktivasi dan interaksi antara karya seni dan pengunjung seperti ini, dapat dikatakan seperti sedang menyambung dua garis yang terpisah. Dari sini, Riyan mencoba membuat lintasan baru untuk audiens ‘zaman now’ tertarik melihat dan membaca arsip sejarah. 

Instalasi kedua, tergolong memilih gaya tradisional dari praktik pengarsipan. Riyan menampilkan sebuah buku berisi kumpulan kliping kasus-kasus seni ‘bandel’. Di bagian tengah buku, pengunjung dapat menemukan garis timeline dari temuan kasus-kasus yang disusun berurutan. Tak perlu waktu lama, beberapa kasus yang ditempelkan terasa begitu dekat (secara emosional atau intelektual) meskipun sudah terjadi cukup lama.

Selanjutnya, tepat di seberang instalasi kedua, sebuah layar monitor tergantung di dinding dengan menampilkan video kolase dari arsip digital yang dikumpulkan. Instalasi ketiga ini disusun menjadi sebuah video pendek yang menyuguhkan footage-footage kasus kebudayaan yang sempat viral di layar televisi kita di rumah maupun yang tersebar di dunia internet.

Pada sisi dinding lainnya dan yang terakhir, tiga karya terpampang dalam pigura klasik. Ketiga karya hadir dengan judul yang terkoneksi, yaitu Reconnected People’s Justice, Reconnected Macan Cisewu, dan Reconnected Pink Swing.

Untuk seri People’s Justice, karya ini merekam peristiwa penurunan lukisan Taring Padi pada gelaran documenta fifteen 2022 yang terjadi beberapa waktu lalu. Lalu untuk seri Macan Cisewu, mengingatkan kita akan peristiwa penghancuran patung Macan Cisewu di Garut (Jawa Barat) sesaat setelah ramai menjadi bahan olokan di media sosial. Begitu juga untuk seri Pink Swing yang menjadi saksi atas penurunan karya seniman Agus Suwage dan Davy Linggar dari arena CP Biennale 2005 di Museum Bank Indonesia karena dianggap sebagai konten pornografi oleh ormas radikal.

Melalui karya Reconnected Access Memory (RAM Museum) yang dihadirkan di pameran ARTJOG 2022, ini bisa dibilang menjadi suntikan yang tepat karena dapat diresapi sebagai asupan melihat karya seni dan gejolak sosial di sekitarnya, terutama di era Reformasi. Rasanya tak perlu menjadi seniman, lebih-lebih menjadi seorang pengamat seni untuk sekadar menikmati karya Riyan Kresnandi tadi. Beberapa koleksi karya seni ‘bandel’ yang disuguhkan, barang satu atau dua karya mungkin pernah mengingatkan kita akan sesuatu yang pernah terlintas di siaran berita televisi, viral di media sosial, ataupun merasakan tegangannya di masa lalu.

Keseluruhan instalasi yang dikerjakan Riyan bersama MIVUBI dan Karen Hardini, membengang ingatan kita sekali lagi kalau kebebasan berpendapat (dalam praktik kesenian) adalah kebebasan yang nggak bebas-bebas banget. Bukankah karya seni dilahirkan dari ekspresi dan kreativitas seorang manusia? Kembali ke pertanyaan awal, jika karya seni adalah gambaran atau tiruan dari realitas sosial, lalu apakah seorang seniman sungguh-sungguh merdeka bersama karya seninya?

Namun apa daya, tak ada yang sungguh-sungguh merdeka di dunia ini, sekalipun seniman.