Panggung Daya Bara, Antara Pameran Seni dan Luapan Emosi yang Membara

Pemandangan yang sedikit berbeda dari pameran seni lainnya merupakan suatu hal yang kerap terjadi dalam dunia seni. Segala ciri khas dalam gelaran kebudayaan ini memang selalu menjadi daya pikat untuk masyarakat umum maupun para penikmat kesenian. Tak jarang juga beberapa pameran kesenian yang sudah terselenggarakan menjadi potret sejarah dan mampu memberikan pandangan sekaligus pengetahuan bahwa pameran seni bukanlah untuk segala hal yang aesthetic dan konten sosmed semata. 

Yogyakarta lagi-lagi menjadi tempat yang banyak sekali menawarkan ilmu pengetahuan dan berbagai macam pertunjukan seni untuk disimak dan dipelajari. Daerah yang masih menyandang keistimewaan ini seolah tidak pernah sepi dari acara-acara kebudayaan berbagai sudut kabupaten. Setiap acara pasti akan menampilkan berbagai perspektif tradisional maupun kontemporer.


Pameran Seni yang Dipenjara

“Daya Bara” diartikan sebagai kekuatan atau semangat yang membara. Pameran ini menampilkan 52 karya seni, terdiri dari drawing dan patung, dan semuanya adalah karya baru yang dibuat Aris Prabawa selama kurun waktu di tahun 2021 sampai 2022.

Dibantu dengan kacamata dan observasi jurnalis Bambang Muryanto, pameran ini memberikan pandangan nyata mengenai persoalan yang sedang terjadi di bumi ini. Terlebih persoalan-persoalan lingkungan yang masih sedikit untuk didapatkan informasinya melalui chanel televisi nasional. 

Kemudian bersama organizer pameran yaitu Heri Pemad, pameran ini sangat penting untuk diselenggarakan. Menurutnya materi dan gagasan pameran ini tidak lain adalah bentuk dari banyak kegelisahan dan kecemasan masyarakat terhadap apa yang sudah terjadi disekitar kita. Sengaja menggunakan jeruji besi sebagai pintu masuk dan keluar ruangan pameran, penggambaran penjara ini juga merupakan bagian pembahasaan dari proses berkesenian Aris Manyul.

Aris Prabawa atau sering disapa Manyul ini merupakan seniman asal Surakarta, Solo yang tumbuh besar di Yogyakarta. Ia menempuh pendidikan seninya di Institut Seni Indonesia (ISI) dan ikut mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat Taring Padi.

Perjalanan Manyul dalam berkarya tidak lepas dari isu sosial politik. Banyak hal yang Manyul pelajari secara individu dan berkelompok bersama Taring Padi juga memberikan berbagai pandangan dan ideologi yang sampai sekarang ini masih menjadi ciri khas manyul. 

“Pameran ini memberikan semangat baru bagi saya dan masyarakat dalam menghadapi bencana alam, seperti banjir akibat dari perubahan iklim,”ucap Aris Manyul. Manyul juga bersumpah bersama teman-teman Taring Padi untuk menggunakan seni sebagai media membela rakyat kecil dari penindasan pemerintah otoriter.


Band-Band-an Daya Bara

Entah kapan sejarah ini dimulai, namun gelaran pameran seni dari berbagai galeri yang berada di Yogyakarta banyak sekali memberikan panggung musik untuk berekspresi. Acara ini bisa dijumpai di berbagai tempat dari berbagai kelas, seperti di warung kopi, gedung serba guna, galeri kampus, maupun sekelas museum.

Memasuki gerbang Jogja National Museum, tepat di belakang sebelum area JNM Block terdapat panggung yang berdiri di ruang terbuka. Ukuran panggung mungkin kurang lebih 5 x 5 meter, dan panggung ini sudah menjadi langganan pertunjukan  dari berbagai acara.

Sore itu 23/09/2022 area JNM ramai seperti biasa, berbagai pengunjung yang melintas memasuki kawasan ini tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan mencari pengalaman, bersosialisasi, menghidupi akun sosial media, kencan, juga untuk berkumpul bersama teman.

Pemandangan hari itu mungkin sedikit dipulas berbeda dari hari biasa. Dibantu melalui berbagai teman dan media yang beredar, group kolektif beserta teman-teman baru dari berbagai penjuru juga ikut berkumpul dan bersiap melepas penat bersama Band-Band-an Daya Bara. 

Acara ini menampilkan beberapa band pilihan yang membara diantaranya adalah Deathgang, Los Fungos, Deru Baru, Bad Semen, John And The Jail Story, Dendang Kampungan, dan B.U.K.T.U.

Tidak usah memerlukan waktu yang lama untuk membuat area panggung sekitar Pendapa Ajiyasa menjadi seperti lautan manusia. Lingkaran pertemanan dan sub kultur yang sudah terjalin membuat keadaan seperti ini sudah menjadi pemandangan lumrah dalam acara berkesenian, apalagi disambung dengan panggung berekspresi.

Band-Band-an DAYA BARA mengundang siapa saja yang ingin terlibat dan membakar segala emosinya mengenai persoalan-persoalan yang berlum selesai lewat bernyanyi dan berdansa.

Malam semakin membara dan membuat area ruangan pameran yang dipenjara semakin marah. Meskipun malam itu langit Jogja National Museum sedang mendung, namun semangat yang berapi-api tidak membuat panggung lantas sepi. 

Penonton yang datang dan menyaksikan pun enggan hanya diam berdiri. Beberapa momen yang terjadi di panggung Band-Band-an Daya Bara ini menampilkan beberapa kejadian yang tak kalah meriah dan heboh dengan panggung musik ternama. 

Sampai dimana hujan turun, ruangan musik di panggung enggan untuk mati. selama acara berlangsung, potret keintiman dari setiap penonton yang terjalin dalam area panggung ini menjadi daya tarik. Panggung ini tak hanya meluapkan emosi dengan berdansa ria saja, namun ajang untuk menemukan ikatan pertemanan yang solid.

Tubuh yang basah keringat dicampur dengan guyuran air hujan seolah membuat penonton ini memiliki energi lebih untuk berpogo ria. Tepat di depan panggung, penonton juga membuat gerakan Circlepit, gerakan dimana penonton membuat lingkaran kemudian memutar berlawanan dengan arah jarum jam.

Acara ini juga tidak lepas dari konsep yang dimiliki Aris Manyul. Selain seorang seniman, Manyul juga merupakan vokalis sekaligus gitaris band punk rock, Black Boots.

Melalui karyanya bersama Black Boots, Aris Manyul memiliki visi untuk memberikan suara minoritasnya dari berbagai permasalahan sosial politik serta lingkungan yang ada di sekitar. Materi-materi ini digarap dengan serius dengan nuansa punk rock yang rabel.  Lewat amukkan bermusiknya, tak jarang beberapa sejarah yang sudah terjadi di panggung Black Boots pernah dibubarkan oleh aparat berseragam lengkap, meskipun masa itu sudah eranya demokrasi.

Meskipun personil tidak lengkap. Malam itu, Band-Band-an Daya Bara akhirnya menjadi ajang reuni dan mengenang sejarah bagaimana Aris dan Black Boots masih bersikeras untuk mengabarkan isu-isu yang terjadi di sekitarnya. Bahkan sikap ini nyatanya masih dibawa dan mendarah daging untuk Manyul sendiri.

Beberapa penonton yang datang ke panggung juga sepertinya sudah menyiapkan pernak pernik yang lengkap, dan menjadi simbolisasi atas terjadinya persoalan-persoalan yang belum selesai di negeri ini.

Pemandangan paling mencolok adalah penonton yang menggunakan rompi Polisi. Alasan penonton ini menggunakan rompi tersebut adalah karena Black Boots punya lagu yang membahas soal Polisi. Selain itu beberapa pandangan lain yang terekam mata adalah atribut jaket kulit, sepatu boots, dan aksesoris punk. Menurut beberapa penonton yang menggunakan aksesoris punk adalah terinspirasi dari lagu Black Boots berjudul Punk Merdeka.

Malam dengan langit mendung dan suasana gerimis menutup acara Band-Band-an Daya Bara. Beberapa Band yang sudah tampil telah memberikan kesan dan pesan. Acara ditutup dengan rangkaian foto bersama dan saling berpelukan. Tanda bahwa kelompok kecil ini akan selalu solid dan akan membawa proses berkeseniannya sampai mati.