Lampu dengan Temaram Masa Lalu Itu adalah Jompet Kuswidananto

Tidak ada dansa, maupun symphony Canon in D Major. Hanya seonggok lampu gantung yang telah pecah berkeping-keping. Jompet Kuswidananto sengaja menjatuhkannya untuk membubarkan pertunjukan orkes sejarah, semua dipaksa membatu berhadapan dengan hantu masa lalu. Pedang telanjang, dan karpet beludru hasil rampasan dari Madras, adalah ingatan kolonial yang dipadatkan oleh Jompet dalam teater instalasinya.


Seniman lulusan Fisipol UGM ini begitu melekat dalam benak saya, sejak melihat karyanya “Love is A Many Splendored Thing” di ARTJOG 2021. Sebuah ruangan layaknya pintu ke mana saja. Begitu masuk di dalamnya, kesadaran seperti dibimbing untuk menjejak “dunia yang mirip di sini tapi tidak di sini”. Karena hanya di ruangan itu saya bisa menyaksikan bangkai anjing mati tertusuk lampu neon. Begitu sureal, begitu puitis.


Beberapa waktu lalu saya berkesempatan kembali melihat Jompet di pameran “Analogous”. Sebuah pameran duo bersama Timotius Anggawan Kusno yang diselenggarakan oleh ISA Art Gallery X Omah Budoyo Gallery, 8 Juli - 3 September, 2022. Pameran itu menjelaskan untaian kesamaan dari kedua seniman dalam menggunakan fiksi dan imajinasi sebagai metode mengungkap kisah atau hal yang belum selesai dari sejarah.


Baru saja memasuki ruangan, saya langsung disambut dengan kematian visual. Bukan anjing yang dikorbankan, kali ini ada seekor singa gunung yang gugur di ruang pamer. Makhluk resin itu berselimut dan terbaring di atas permadani berwarna biru prussian, warna yang sama seperti jubah para bangsawan dari negeri jauh. Agak lama saya terdiam mengamati “Shades of The Unseen”, karya Kusno itu. Kematian yang tidak biasa. Karya yang menggambarkan sejarah hanya mencatat penguasa, orang besar dengan menumbalkan ribuan kepala.


Setelah merasa selesai, saya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan dengan bentuk memanjang ini memiliki jarak pandang sempit. Rasanya akan lebih nyaman untuk bisa mundur beberapa langkah demi menangkap kesan karya dengan baik. Di dinding terpajang banyak kanvas dan gambar berukuran kecil. Semuanya tentang penarasian ulang sejarah yang memang akan terus diperebutkan.


Selanjutnya saya berdiri di depan rangkaian lampu Jompet, “Long Shadow #2” dan “Strange Form of Love”. Sepintas lalu keduanya terkesan mewah-antik, cahaya redup yang anggun dan memancing nostalgia. Namun saat melihatnya lebih dekat lagi, detail-detail ajaib diselingi teka-teki muncul di sela pedang dan bayangan. Butuh beberapa menit sampai saya menyadari ada sesuatu yang hilang. Saya membuka Spotify lalu memasang earphone di sebelah telinga:


“… À votre avis qu'avons-nous vu


De l'amour?


De vous à moi vous m'avez eu


Mon amour


Ne vous déplaise


En dansant la Javanaise


Nous nous aimions


Le temps d'une


Chanson …”


Tembang “La Javanaise” dengan iringan biola dan piano itu membuka sumbatan di kepala saya. Antara penghayatan visual Jompet yang dramatis, ditambah alunan suara Madeleine Peyroux menjadi satu momen yang dengan agak berlebihan saya sebut menakjubkan. Narasi kolonialisme jadi sesuatu yang sangat dekat, bahkan bisa kita nikmati. Ketegangan identitas dan kronik masa lalu terasa baur dan abu-abu. Jompet tidak berdiri sebagai subjek tunggal seorang Jawa, dia adalah Jawa yang telah mengalami interaksi kultural dengan dunia yang besar.


Bagi Jompet sendiri, identitas adalah sesuatu yang kompleks dan tersusun atas bentangan peristiwa nun jauh ke belakang, “Identitas adalah rentang waktu sekian abad pertemuan dengan yang lain, dengan the other. Jadi yang membentuk Jawa saat ini adalah rentang panjang pertemuan dengan liyan ini. Sejak pra kolonial, kolonialisme, itu sudah membentuk satu identitas yang kompleks. Kemudian setiap zaman mengubah itu,” terang seniman yang sekarang berusia 45 tahun tersebut.


Menurut saya, hal paling menarik dari karya Jompet adalah bayangan yang selalu menghantui, cahaya hanyalah tipuan untuk mata yang tidak terbiasa dengan gelapnya masa lampau. Antara sejarah, fiksi, dan kekuasaan tidak terpilah. Sejarah adalah kontrol kuasa untuk masa depan. Atau kalau kata Agung Leak “sejarah itu berulang, waktu itu melingkar tidak lurus memanjang. Seperti konde… Jadi abai pada masa lalu, adalah kutukan di masa depan”.


Lebih lanjut laki-laki yang pernah menjadi musisi dan aktif di Teater Garasi itu mengatakan, bahwa tubuh Jawa adalah tubuh hantu-hantu. Karena menurutnya, salah satu sisi Jawa adalah versi identitasnya yang ngambang, yang mengalir, yang terus berubah. Identitas Jawa bisa berbentuk apa saja yang kamu bayangkan. Jika diumpamakan sebagai sebuah tubuh, dia tidak punya garis batas jelas atau memiliki outline yang samar.


Secara metafor pun, Jompet menggunakan bahasa visual “lampu pecah” untuk membicarakan banyak hal. Kalau dibayangkan dia seperti tokoh yang ditulis oleh seorang pengarang Perancis, Gaston Leroux, dalam novel “The Phantom of the Opera”. Di mana pada salah satu adegan kunci, seorang masyarakat kelas pinggir melakukan pemberontakan dengan menjatuhkan lampu chandelier, sehingga mengacaukan sebuah opera, sebuah konstruksi sosial. Di sini chandelier yang pecah bisa bercerita tentang interupsi, sabotase pada yang berkuasa, yang dominan. Seperti yang terjadi di sepanjang sejarah Indonesia.


Tak cuma menggunakan simbol visual, Jompet juga menempatkan suara sebagai elemen penting dalam beberapa seri karyanya. “Aku menaruh musik dalam karya instalasi pada posisi penting, krusial menurutku. Karena suara sebagai sebuah medium paling tidak secara praktis membantuku untuk menciptakan ruang yang lain, ruang yang bukan fisik. Ini ada ruang fisik, ketika ada suara, itu akan membuat layer ruang yang lain di dalam perspektif penonton,” kata Jompet menceritakan tentang nilai bunyi dalam karyanya.


Menggunakan suara sebagai subjek matter, Jompet dalam beberapa seri awalnya seperti “Java’s Machine: Phantasmagoria”, “The Commoners”, dan “Words and Possible Movements”, membuat instalasi secara keseluruhan menyerupai sebuah pertunjukan. Dalam karya-karya itu ia membawa tema mengenai performativitas dalam demokrasi Indonesia. Yang menurutnya ketika dalam konteks politik Indonesia setelah mengalami sekian tahun di bawah pemerintahan otoriter, suara menjadi sesuatu yang politis, juga sesuatu yang traumatis. Suara punya banyak nilai yang bisa diperbincangkan.


Karya-karya Jompet adalah parade, sebuah karnaval identitas yang beragam dan majemuk. Saya setuju dengan Alia Swastika yang mengatakan dalam esainya, “Me(re)konstruksi Tubuh atas Ingatan”, bahwa “… karya Jompet tidak hanya mengemuka dalam kerangka konteks isu yang sedang ia representasikan, tetapi juga dalam medium yang dipilihnya, yang menyerupai slogan klasik “medium adalah politikal”.”


Kembali kepada lampu dan masa lalu, walau benar waktu itu melingkar serupa konde Agung Leak, masa depan tetap saja tanda tanya yang buram. Sebagaimana dinding-dinding bertagar #katacindhil yang mengabarkan selamat tinggal dan kematian yang dikenang, salah satunya berbunyi: “Hantu-hantu dari masa lalu kembali berkisah, tak ada lagi ketakutan, sebab ia tak punya masa depan.” Pesta dansa pun usai, dan chandelier itu pecah berkeping-keping.