Nostalgia ke Masa Lalu, Rekreasi ke Masa Depan

Nostalgia ke Masa Lalu, Rekreasi ke Masa Depan

“NU-SA-MA-TRA” merupakan sebuah pameran seni bagian dari kegiatan peluncuran FlipFLop TV dengan sasaran audiens utama pameran adalah anak-anak. Mengutip teks kuratorial Huhum Hambilly dan Adhi Pandoyo, “Kata Nusa dipahami sebagai sebuah konsep ruang hidup yang konsentris sekaligus dinamis. Kata Nusa kemudian kami tautkan dengan kata Matra, yang dalam bahasa Sansekerta memiliki arti sebuah ukuran, seperti panjang, tinggi, lebar ataupun dalam makna luas, menyangkut ukuran irama dan bunyi maupun satuan kata. Nusamatra menandai ruang hidup yang merangkum beragam matra dalam pameran seni rupa kali ini.”

Pemeran “NU-SA-MA-TRA” dihelat pada 20-21 Desember di Galeri Pendopo Ajiyasa Jogja National Museum, melibatkan seniman maupun koletif seperti: Agan Harahap x Broken Pitch, Anang Saptoto, Mbah Atemo Wiyono & Hanafi K Sidhartha, Sekawan Project, Studio Foto Kilat 56, dan TEMPA. Setelah membaca nama-nama ini, mungkin akan muncul pertanyaan, apakah semua karya bisa dinikmati dengan baik oleh anak-anak? Bagaimana mungkin konsep-konsep yang memuat wacana  diusung dalam karya seni dapat diterima dengan baik oleh anak-anak?

              Setelah berdiskusi panjang bersama kurator Nusamatra, Huhum Hambilly, saya sepakat bahwa anak-anak tidak lagi menjadi pengunjung pasif pada pameran, datang untuk melihat dan bersang-bersenang adalah gaya klise apresiasi seni yang tidak akan terjadi di Nusamatra.  Pengunjung Nusamatra, baik dewasa maupun anak-anak memiliki kesempatan yang sama untuk memahami, berpikir kritis, serta merespon setiap karya yang ditampilkan.

Karya Agan Harahap x Broken Pitch menjadi karya pertama yang tampak setelah memasuki pintu masuk galeri. Pengunjung disambut dengan penampakan harimau yang mengunjungi pusat perbelanjaan untuk mencari daging. Konsumerisme telah membumihanguskan keseimbangan alam. Melalui karya ini, pengunjung diajak rekrasi ke masa depan, menjenguk bumi yang sakit dengan segala ketidakseimbangannya. Pengunjung difasilitasi pensil dan kertas untuk merespon karya ini, hasilnya sungguh mengejutkan. Saya ambil tiga dari ratusan karya yang saya pilih secara acak. Karya-karya ini adalah angin segar, pengunjung (baik anak-anak maupun dewasa) telah menuntaskan `rekreasi ke masa depan` dengan baik. Pemeran yang dibuka oleh Kak Seto ini tidak hanya formalitas untuk merayakan kegembiraan anak-anak, tapi anak-anak sebagai subjek utama telah melakukan banyak hal melampui dari yang seniman, kurator, maupun edukator bayangkan. “Pameran ini membuat anak-anak dekat sekali dengan karya seni,” tutur Kak Seto saat tengah mengelilingi galeri.

Usai menuntaskan gambaran ekosistem masa depan di kertas masing-masing, pengunjung diajak bermain dengan gembira, menyusun modular berupa potongan lembaran kayu dengan pola unik dan penuh warna karya TEMPA. “Menambah dan mengurangi sesuatu adalah hal yang lumrah dalam berkarya seni. Itu yang akan ditanamkan ke anak-anak. Agar di masa depan, mereka tidak takut melakukan perubahan-perubahan pada karya mereka,” ujar Putud Utama, salah satu seniman TEMPA.

Di sisi selatan galeri, wayang karya Mbah Atemo dan Hanafi K Sidhartha menyambut pengunjung dengan begitu ramah. Karya-karya Mbah atemo yang dibuat dengan bahan-bahan bekas mengingatkan saya dengan recycle dan seni berkelanjutan. Tepat sehari sebelum pameran dibuka saya sempat berdiskusi ringan dengan Hanafi, ia mengatakan, “Seni berkelanjutan tidak hanya karena Mbah Atemo menggunakan bahan bekas dalam proses berkaryanya. Tapi ada hal lain yang jauh lebih besar: Usianya 82 tahun, Mbah Atemo memutuskan untuk mengabdikan usianya untuk terus membuat wayang di saat semua orang di lingkungannya berhenti melakukannya. Itulah seni bekelanjutannya.” Setelah itu saya tahu bahwa di lingkungan tempat tinggal Mbah Atemo dulunya adalah sentra permainan tradisional dan wayang, namun semuanya tinggal nama. Mbah Atemo menjadi satu-satunya pengrajin sekaligus seniman tunggal yang masih memproduksi wayang.

Beranjak ke karya Anang Saptoto yang mengajak pengunjung untuk membuat kartu pos sebagai bentuk kepedulian dan dukungan terhadap anak-anak korban gempa di Cianjur. Selama pameran berlangsung, kartu pos ini ditempelkan di dinding galeri. Pasca pameran, kartu pos ini akan dikirim oleh Anang Saptoto kepada anak-anak di Cianjur. Antusiasme pengunjung sangat tinggi, baik anak-anak dewasa, maupun turis mancanegara turut menunjunkan kepedulian mereka dengan membuat kartu pos ini.

Berangkat dari konsep ‘kepedulian’, pembuatan kartu pos ini adalah bagian dari karya Anang Saptoto yang berada di pameran Nusamatra. Selain kartu pos, Anang Saptoto menampilkan seri fotografi “Panen Apa Hari Ini” yang merupakan olahan artistik dari kegiatan Kelompok Wanita Tani. Pengujung diajak untuk mengenal lebih dekat geliat pertanian yang menjadi jantung ketahanan pangan namun sering terabaikan.

Di pintu masuk pengunjung diajak rekreasi ke masa depan, sedangkan menjelang di pintu keluar pengunjung diajak nostalgia ke masa lalu bersama karya dari Sekawan Projek. Sekawan menghadirkan permainan-permainan tradisional yang nyaris atau mungkin telah ditenggelamkan oleh modernitas. Tidak sekonyong-konyong memindahkan gudang mainan tradisional ke galeri, Sekawan melakukan inovasi, kreasi, serta edukasi yang menjadikan area ini dicintai pengunjung. Sajian dakon dengan replika bitcoin sebagai buah untuk menjalankan permainan, engklek pesawat dengan detektor serta lampu otomatis, telepon kaleng yang berisi suara nasihat serta panggilan ibu saat petang tiba, dan hero masa lalu yang sempat popular pada masanya turut dihadirkan.

Tepat di pintu keluar, sebuah gerobak biru bertuliskan “Foto Kilat Menyambar Rezeki” menyediakan jasa foto untuk mengabadikan momen berharga ini. Jasa foto ini merupakan bagian dari serangkaian karya kolektif MES 56 yang juga turut menyediakan lab fotografi di dalam galeri. Jasa foto ini benar-benar sangat berjasa, karena setelah pameran berakhir, ingatan masa kecil, pengalaman artistik, serta respon-respon dari pameran ini akan terbenam di ingatan, dan mungkin akan dilupakan oleh waktu. Hanya cetakan foto dari Studio Foto Kilat 56 ini yang akan menjadi pengingat bahwa kita pernah bersnostalgia ke masa lalu dan rekreasi ke masa depan di Nusamatra.

Nusamatra menjadi kabar baik bagi saya dan tentunya bagi seluruh anak-anak yang datang ke pameran ini. Setelah sekian banyak pameran seniman dewasa yang menjadikan anak sebagai audiensnya, namun anak-anak masih diposisikan sebagai subjek pasif karena dianggap terdapat jurang yang cukup dalam antara makna karya seni dan cara anak memahaminya.  Nusamatra tidak hanya memberikan pengalaman artistik pada anak, tapi juga memposisikan anak-anak sebagai manusia yang memiliki kecerdasan untuk memahami lingkungan, sosial, dan alam, melalui karya seni. Anak-anak dibawa bertamasya ke masa lalu hingga masa depan. Nusamatra tidak hanya menjadikan anak sebagai audiens, tapi mereka diberikan kesempatan untuk merespon serta menjadi seniman itu sendiri.