Lembana dan Burung-burung yang Hanya Ingin Mengikuti Angin

Desember menjadi peta panjang perjalanan saya mulai dari Banten sampai timur Jawa, bahkan hingga ke seberang utara. Madura. Setelah mengunjungi beberapa pameran seni di Jakarta, saya berhenti selama empat hari di Yogya untuk presentasi tugas lukis di kampus. Selanjutnya naik kereta Sri Tanjung ke Surabaya, dari sanalah langkah saya dikesiur angin menuju pulau garam.


Nama tempat itu adalah Perigi, tapi orang sana lebih akrab menyebutnya Lembana. Sebuah desa kecil yang sawahnya hanya sanggup ditumbuhi padi gogo. Letaknya berada di antara dua perbukitan karst yang tampak bagai belukar dari kejauhan. Lembana sendiri berarti wilayah yang melembah. 


Namun siapa sangka, di atas tanah Sumenep yang bersahaja itu berdiri sebuah galeri seni. Bukan gedung besar dengan lampu meriah, tetapi rumah sederhana lengkap dengan dapur yang hidup. Tempat itu menampung pembicaraan yang akrab kita dengar di medan seni mapan. Tepat di halamannya, kita akan melihat petani menggarap ladang, dan seorang ibu yang menggendong rerumputan di punggungnya. Juga terdapat sebuah langgar yang konon sama tuanya dengan usia Desa Perigi.


Adalah kebetulan saya tiba di Sumenep malam itu. Oleh karena secara spontan mengiyakan ajakan Ayos Purwoaji, seorang kurator banal yang mencintai Madura dan Bebek Sinjay. Lembana Artgroekosystem sedang menggelar pameran mereka yang kedua. Menggabungkan konsep exhibition making dengan lanskap pedesaan, pameran “Babadlembana” menyajikan konsep eksibisi yang tidak hanya terpaku pada dinding putih, melainkan pada pengertian ruang yang menyangkut cara hidup banyak orang. 


Bila di Jakarta atau Yogya, sebuah pameran tak akan lengkap tanpa beer, lampu kerlap-kerlip, dan alunan musik DJ. Tapi di tempat ini, di desa ini, pameran adalah aktivitas warga. Selawat, tabuh rebana, dan beragam kemeriahan yang hanya bisa ditumbuhkan oleh kultur tanah, menciptakan suasana semarak berbeda. Kopi mengalir tak henti-hentinya sepanjang malam, diskusi seni dapat melibatkan pemuda desa, petani, dan ibu rumah tangga. Lembana Art merupakan galeri yang memungkinan seni ramah terhadap siapa saja.


Karya seni sekaligus narasi yang ia bawa  menyatu dengan tempatnya berada. Baik itu di sawah, masjid, bahkan hingga ke puncak bukit. Pameran semi outdoor ini memperlihatkan kemungkinan perkawinan gagasan antara lokasi dengan ide artistik. Uniknya, beberapa karya seni di sini seakan lebur menjadi bagian dari Lembana sendiri. Seperti karya Kolektif Kecoak Timur dari Surabaya yang tanpa keterangan, pasti bakal dikira benda sakral kuburan. Mereka membuat gambar seperti rajah yang membalut nisan berupa batu-batu karang di atas bukit. 


Atau bila kita tengadah, akan tampak segerombolan burung gagak seolah sedang mengintai bangkai di bawah mereka. Burung-burung itu bertengger pada pepohonan tepat di atas pemakaman. Seandainya tanpa pengumuman pameran, sangat mungkin pengunjung tidak akan tahu bahwa burung itu milik Timotius Anggawan Kusno, seorang seniman asal Yogyakarta. Karya itu berjudul “Kepada Kisah-kisah yang Hilang Bersama Angin Mencari Sarang”, sebuah medium tutur yang tidak berusaha menjelaskan, tetapi menyerap cerita dari tempatnya berdiam.


Setelah 3 minggu waktu saya habis di perjalanan dan kota-kota. Saya menaruh solidaritas dengan burung Kusno. Mereka juga telah mengalami perjalan, bahkan lebih panjang melewati laut dan angin kencang. Burung-burung itu sudah terbang dari Yogya, Jakarta, Korea, lalu ke Rijksmuseum di Belanda, dan sekarang memutuskan menetap di Madura. Di bukit Lembana. Ya, gerombolan gagak itu akan seterusnya menjaga makam, barangkali sampai lapuk, sampai seni tinggal cerita yang sulit dimengerti.


Melihat Perigi mengingatkan saya pada kampung dan masa kecil. Pemandangan gunung, sawah, dan bunyi surau yang samar dikejauhan, terasa amat karibnya. Bedanya, dulu saya tak mengenal apa itu pameran seni. Desa menyuguhkan kerja nyata, hidup adalah peluh yang dikucurkan. Ternak, tanah, dan air, mesti digarap tanpa banyak bicara. Tidak ada referensi visual lebih dari pemandangan kering dan kemiskinan. Seni dan gagasan seputarnya baru saya pahami ketika remaja, itu pun usai keluar dari desa tempat ari-ari saya ditanam.


Tetapi di Lembana, ingatan saya tentang desa seperti diputar ulang. Di sini anak-anak bisa mendengar istilah seni kontemporer. Bisa mengenal nama seniman selain dari buku sekolah, yang seringnya menampilkan Affandi atau Basuki Abdullah. Nama-nama seperti Jompet Kuswidananto, Suvi Wahyudianto, Wimo Ambala Bayang, Ipeh Nurberesyit, Ika Arista, Yosep Arizal, dan banyak seniman hari ini mudah terakses. Bahkan saya sempat menemui beberapa dari mereka di tempat ini.


Sebagaimana kata kurator Ayos Purwoaji, seni bisa bersifat ideologis di sini. Ia menyediakan akses, dan referensi visual yang sama seperti wilayah-wilayah pusat. Pengetahuan alternatif mampu menjadi jalan lain untuk memperkaya diskursus dan pendekatan akademis, lebih-lebih untuk daerah pinggir dan pedesaan. Seni menjadi portal yang memungkinkan isu sosial, politik, dan lingkungan terhubung ke banyak daerah.


Usai seharian keliling dan mengikuti tur, malamnya saya mendengar ceramah budaya oleh Asief Abdi, pertunjukan noise oleh Bethara Lendir dan Toyol Dolanan Nuklir. Musik nyeleneh itu meredam suara jangkrik dan ngorek kodok, lalu ditutup nobar kemenangan Argentina di final World Cup. Ingin rasanya sebelum kantuk datang untuk pergi ke atas bukit. Melihat gerombolan burung gagak dalam gelap. Tapi perjalanan masih jauh, beberapa hari lalu saya sempat mimisan karena kelelahan. Tentu saya ingin menikmati ribuan hari masa muda ini lebih panjang. Saya harus istirahat.


Esoknya, setelah dua kali melihat matahari terbit di Desa Perigi. Bersama Ayos Purwoaji dan rombongan, saya kembali menyeberang Suramadu. Dari Terminal Purbaya, bus membawa saya pulang ke rumah di Kediri. Di sepanjang jalan, kepala saya terus membayangkan seekor burung yang mengambang di udara. Tanpa gedung dan pepohonan, hanya angin yang menentukan ke mana arah perginya. Bus melaju dengan agak ugal-ugalan. Tiba-tiba saya ingin lekas menyelesaikan kuliah, ingin menjadi burung bersama angin mencari sarangnya.


—-a walker who’s swept by the wind—-