Ipeh Nur Beresyit, Dalang dari Benda-Benda yang Bercerita

Esai
06-Feb-2023
Oleh Suliswanto Urubingwaru

Saya mengenali Ipeh Nur Beresyit sebagai seniman, terutama sekali pada penggunaan ragam artefak dalam karyanya. Tentu saja selain gambarnya yang punya kesan mendekati wayang beber dan sedikit seni visual klasik Jepang—datar dan dipadati oleh sebuah pertunjukan. Berbagai medium pendukung kerap ia tambahkan, seperti soko guru tua, jendela aus, kubah mushala, sampai dengan spion motor suaminya, Enka Komariah. 


Ipeh terlihat sangat ingin bercerita dalam karya-karyanya. Seandainya ia seorang dalang, saya sepertinya bakal menyaksikan adegan dengan iringan “pathet sanga” dan “manyura”, alur pewayangan yang biasa mulai tengah malam sampai menjelang subuh. Scene ngelangut ketika masalah bermunculan, disusul suara gamelan bernada tinggi untuk melatari perang. Gambar-gambar Ipeh merupakan kumpulan elemen visual yang perlu penutur. Sulit membayangkannya dengan cuma mengandalkan nalar penglihatan.


Nuansa tradisi begitu kental dalam karya perempuan lulusan 2016 dari studio grafis Seni Murni, ISI Yogyakarta itu. Figur transparan penuh distorsi tampil layaknya bayangan hantu-hantu yang nenek ceritakan di kampung dulu. Makhluk dengan leher panjang, sosok tanpa kepala, siluman hewan setengah manusia, dan banyak image mirip memedi lainnya. Drawingnya memiliki kualitas ketakutan, ambivalensi, kegamangan yang suram dan menyimpan misteri.


Hal itu mengingatkan saya pada gambar-gambar Tjitro Waloejo (1912-1990), seorang seniman tradisional yang banyak mengilustrasikan pesugihan dan mistis Jawa. Bedanya, pada gambar Ipeh memadukan unsur mistis dengan objek-objek dan fenomena nyata. Seperti teve, senapan, net tenis, atau adegan mencuci tangan saat pandemi. Perspektifnya bukan lagi mengilustrasikan apa yang tak kasat mata, tapi situasi yang dilihat dan dihidupi hari ini. Tidak ada batas dalam alam imaji Ipeh, karya-karyanya seolah berbicara bahwa yang tak nyata, fiktif, dan hal yang berwujud angan-angan turut mempengaruhi, bahkan menggerakkan kesadaran kita.


Drawingnya yang menitikberatkan pada kekuatan outline, dibumbui teks dan komposisi teatrikal, sedikit-banyak menunjukkan singgungan proses kreatifnya dengan komunitas seni di Yogyakarta. Memasuki tahun 2000-an wabah komik masih kuat menginfluens seniman-seniman muda, memunculkan kolektif dengan pendekatan seni massa dan penerbitan mandiri. Beberapa di antaranya yang eksis hingga hari ini seperti Geger Boyo, Krack! Studio, juga Barasub. Dan memang, di antara komunitas itulah Ipeh menjangkarkan karir dan awal proses kreatifnya.


Perahu dan Cerita Tentang Lautan

Terakhir kali saya mendapati Ipeh dalam pameran Rimpang Nusantara di Cemeti Institute, lewat karya “Menghanyut: Tubuh dan Perjalanan” (2022). Ia membawa perahu dan lautan dalam mode artistik instalasi. Berupa tenda bergambar dilengkapi soko guru terbalik, dan video proyeksi berlatar ombak segara. Lagi-lagi sajian simbol amat melimpah. Membuat kita berhenti untuk mengernyitkan dahi, apa korelasi laut, jendela, dengan tiang rumah? 


Di sinilah kemudian peran Ipeh sebagai dalang dibutuhkan. Karya tersebut merupakan hasil residensinya dari kepulauan Mandar, Sulawesi Barat. Selama sebulan di sana, ia tertarik pada laku hidup masyarakat pesisir Pambusuang, bagaimana mereka memberi perlakuan terhadap kehidupan laut beserta pirantinya. Seperti ketika ia berkesempatan melihat proses pembuatan kapal padewakang, jenis kapal yang lebih tua dari pinisi, ternyata kaya prosesi simbolik dengan ragam cerita dibaliknya.


Ia menaruh minat pada pola kultural dan bagaimana cara sebuah mitos membangun karakter masyarakat. Hal tersebut kemudian menumbuhkan banyak pertanyaan tentang identitasnya sendiri. Keberjarakan dan batas teritori memberinya perspektif baru dalam melihat sejarah dan pencatatan masa lalu. Mulai dari metode lisan hingga pewarisan tata cara melakukan sesuatu secara kolektif. 


Cerita dan entitas yang diyakini ada, memang seperti ruh tersendiri bagi karya Ipeh. Mitos tak sekadar kisah lalu, ia adalah kesadaran konseptual sekaligus kepekaan untuk terhubung dengan komunitas sosial, serta masalah-masalah bersama.


Kembali ke pertanyaan detail mengenai penggunaan benda-benda pada instalasi Ipeh. Sebagaimana yang terdapat pada gambar-gambarnya, seolah tak mau kehilangan setiap inci instrumen untuk bercerita, ia tampak asik dan bersemangat membubuhkan tanda demi tanda. Soko guru terbalik punya narasi tentang kekuasaan posisi simbol, pun cermin dan jendela adalah perkara lainnya. Instalasi Ipeh seperti buku yang bisa dimulai dari bab berapa pun. Ia memiliki banyak lakon carangan, terasa berlebihan, namun kadang kala bisa begitu menarik disamping lakon utamanya. 


Karya Menghanyut bukan seri laut pertama Ipeh yang saya lihat. Sebelumnya dalam pameran parade mengenang almarhum Gunawan Maryanto, “Untuk Seorang Lelaki yang Demikian Mencintai Hujan”, motif perahu telah muncul. Namun dengan perwujudan yang lebih sederhana. Menggunakan medium kerangka besi dengan canthik kapal berbentuk siluet kepala “Mas C”. Pada karya “Perahu Terakhir” (2022) itu,  kapal sebagai metafora pelarungan, pelepasan, sudah cukup kuat menjadi pilihan bahasa. Tidak riuh tapi mengena. Terkesan utuh dan bisa membuat sang dalang beristirahat, karena wayangnya mampu menuntaskan lakonnya sendiri.


Saya bisa membayangkan Ipeh akan menua dan menjadi sosok seniman sekaligus nenek yang kaya dongeng. Sangat menyenangkan.