Ipeh Nur Beresyit, Dalang dari Benda-Benda yang Bercerita

Saya mengenali Ipeh Nur Beresyit sebagai seniman, terutama sekali pada penggunaan ragam artefak dalam karyanya. Tentu saja selain gambarnya yang punya kesan mendekati wayang beber dan sedikit seni visual klasik Jepang—datar dan dipadati oleh sebuah pertunjukan. Berbagai medium pendukung kerap ia tambahkan, seperti soko guru tua, jendela aus, kubah mushala, sampai dengan spion motor suaminya, Enka Komariah. 


Ipeh terlihat sangat ingin bercerita dalam karya-karyanya. Seandainya ia seorang dalang, saya sepertinya bakal menyaksikan adegan dengan iringan “pathet sanga” dan “manyura”, alur pewayangan yang biasa mulai tengah malam sampai menjelang subuh. Scene ngelangut ketika masalah bermunculan, disusul suara gamelan bernada tinggi untuk melatari perang. Gambar-gambar Ipeh merupakan kumpulan elemen visual yang perlu penutur. Sulit membayangkannya dengan cuma mengandalkan nalar penglihatan.


Nuansa tradisi begitu kental dalam karya perempuan lulusan 2016 dari studio grafis Seni Murni, ISI Yogyakarta itu. Figur transparan penuh distorsi tampil layaknya bayangan hantu-hantu yang nenek ceritakan di kampung dulu. Makhluk dengan leher panjang, sosok tanpa kepala, siluman hewan setengah manusia, dan banyak image mirip memedi lainnya. Drawingnya memiliki kualitas ketakutan, ambivalensi, kegamangan yang suram dan menyimpan misteri.


Hal itu mengingatkan saya pada gambar-gambar Tjitro Waloejo (1912-1990), seorang seniman tradisional yang banyak mengilustrasikan pesugihan dan mistis Jawa. Bedanya, pada gambar Ipeh memadukan unsur mistis dengan objek-objek dan fenomena nyata. Seperti teve, senapan, net tenis, atau adegan mencuci tangan saat pandemi. Perspektifnya bukan lagi mengilustrasikan apa yang tak kasat mata, tapi situasi yang dilihat dan dihidupi hari ini. Tidak ada batas dalam alam imaji Ipeh, karya-karyanya seolah berbicara bahwa yang tak nyata, fiktif, dan hal yang berwujud angan-angan turut mempengaruhi, bahkan menggerakkan kesadaran kita.