Simposium Khatulistiwa: Mengurai Lintas Teritori, Mencerap Pengetahuan dari Dalam

Esai
01-Nov-2022
Oleh Adhi Pandoyo

Simposium Khatulistiwa: Mengurai Lintas Teritori, Mencerap Pengetahuan dari Dalam


Adhi Pandoyo


Biennale Jogja seri Equator atau BJE telah usai. Selama sepuluh tahun telah dilalui kerja sama dengan enam negara maupun kawasan, yakni India (2011); Kawasan Arab (2013); (Nigeria (2015); Brazil (2017); Asia Tenggara (2019) dan Oceania (2021). Kini, baru saja berlangsung ‘Simposium Khatulistiwa’ yang biasa menyertai BJE di tiap tahun genap. Simposium Khatulistiwa kali ke enam ini berlangsung pada 28 – 29 Oktober 2022 di Concer Hall Pascasarjana ISI Yogyakarta. Melalui tajuk “Kuat Akar, Kuat Tanah: Solidaritas Trans-Nasional dan Gerakan Trans-Global,” simposium ini diharapkan menjadi penutup rangkaian BJE putaran pertama (2011 – 2021) sekaligus menjembatani menuju putaran kedua di masa mendatang. 

Selama dua hari penyelengaraan, terdapat masing-masing pembicara kunci sebagai episode presentasi pembuka. Jeebesh Bagchi dari Raqs Media Collective (Delhi, India) membuka hari pertama dengan pembahasannya tentang pengalaman kekaryaan kolektifnya di berbagai perhelatan internasional. Dr. Mitha Budhyarto selaku moderator, sempat menyimpulkan bahwa beberapa konsepsi yang ditawarkan Bagchi, seperti “Glimmer” (Cahaya Redup), memiliki relevansi dengan konteks realitas dunia termutakhir, yang terbukti dipenuhi kegelapan dan kekelaman. Saya sempat tercenung sesaat ketika di akhir Bagchi berucap: “Now, in Art World, you will see that most expressed is that historical time now, more and more is seen as Horror. So history becomes just recording as a horror.” 

Sementara di hari kedua, dua pembicara kunci, Jiradej Meemalai dan Pornpilai Meemalai, secara khusus memaparkan pengalaman kerja keduanya dalam Baan Noorg Collaborative Arts. Dalam konteks kota Ratchaburi di Thailand, Baan Noorg berupaya membahasakan isu lokal ke dalam konteks baru, melalui perhelatan seni kontemporer global, salah satunya saat turut serta dalam Documenta 15 di Kassel, Jerman. 

Menarik ketika di akhir, Pornpilai mengungkapkan: “The context where we live, I think it’s all, for us, is like a Rhizomes, so it really depends which at what’s under certain issue what do you want, or how do you want to cook or address with certain elements from the cultural background. Maybe it can be mix and combine together, but sometimes you can also propose with one certain visual.”

Menuju Putaran Kedua

Dalam pembukaan simposium, Alia Swastika, selaku direktur Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY), menyampaikan bahwa: “Dalam putaran kedua nanti, kita tidak lagi secara khusus bekerja sama dengan negara-negara tertentu, tetapi lebih bersifat global, dalam cakupan solidaritas trans-nasional dan gerakan trans-lokal. Jadi tidak lagi berbasis pada negara-bangsa, tetapi melihat solidaritas-solidaritas antar warga sebagai titik tumbuh dari gerakan global itu sendiri.”

Selain itu, putaran kedua kelak akan tetap melanjutkan cita-cita bersama, yakni menjadi bagian dari penulisan ulang sejarah seni dunia dan berkontribusi pada proyek dekolonisasi seni. Terutama berfokus pada mempertanyakan kembali definisi dan kerangka geopolitik dunia. Alia juga menjelaskan bahwa untuk putaran kedua itu pula, BJE menyediakan dua kata kunci, yakni: Trans-Local atau Lintas-Lokal dan Trans-Historical atau Lintas-Kesejarahan. 

Di satu sisi, konsepsi ‘lintas lokal’ akan menghubungkan pengetahuan antar lokalitas, sistem seni dan kebudayaan berbasis konteks adat yang spesifik, serta artikulasi pengetahuan yang berakar pada bahasa-bahasa lokal. Sementara di sisi lain, konsepsi ‘lintas kesejarahan’ akan merujuk pada alur sejarah yang terbukti memberi inspirasi bagi gerakan sipil. 

Silang Gagasan Utama di Hari Pertama

Selama berjalannya simposium, selain pembahasan dari pembicara kunci, tak kurang muncul sepuluh pembahasan. Kesemuanya terbagi dalam tujuh nomor urutan tema, yakni: (1) “Internet, Seni dan Gerakan Solidaritas Baru”; (2) “Seni dan Aktivisme di Tengah Kapitalisme Mutakhir”; (3) “Gerakan Perempuan dan Dekolonisasi”; (4) “Kelas dan Identitas Post-Kolonial”; (5) “Desain Vernakular dan Pengetahuan Lokal”; (6) “Trans-Nasional dan Trans-Historis”; dan (7) “Artikulasi Translokalitas dan Budaya Hibrida”. Ketujuh nomor urutan tema itu, menurut Alia, berada dalam payung gagasan, yakni: “Belajar dari Kesalahan, Gerakan Seni dan Spekulasi Masa Depan”.

Pada hari pertama, terbagi tiga sesi, dengan sesi pertama simposium dengan Dr. Annisa R. Beta, Fellalia Hasna Hanifa dan Mega Nur Simanjuntak yang membawakan pembahasan tema nomor satu. Annisa melalui komunikasi daring zoom, menjelaskan soal solidaritas rasa dan aktivisme feminis di media sosial. Irham Nur Anshari yang bertindak sebagai moderator kemudian juga menjembatani pemaparan Fellalia menyoal gerakan akun twitter @wadas_melawan; dengan presentasi Mega terkait modalitas kewargaan metizen seniman muda, sebagai medan alternatif seni rupa.  

Sementara menjelang siang, sesi kedua menampilkan Rahma Azizah, Natasha Devanand Dhanwani dan Benny Widya dengan pembahasan tema nomor kedua. Rahma memaparkan pengalaman upaya Tanijiwo mengusung residensi di kawasan Dieng. Sedangkan Natasha membagi pengalamannya bekerja bersama masyarakat Sangihe, Sulawesi Utara, khususnya dalam gerakan menolak tambang. Kemudian Benny yang menyodorkan pengalaman keterlibatan dan pengkajiannya atas praktik Biennale Jatim melalui wacana desentralisasi. Di sesi ini, tampak beragam tanggapan, misalnya Nindityo Adipurnomo mempersoalkan pentingnya berhati-hati dalam melakukan kerja residensi seniman di desa-desa, agar tidak terjebak dalam godaan klasik eksotisasi dan eksploitasi warga.

Memasuki sesi ketiga, atau terakhir, muncul pembahasan tema nomor ketiga, dengan pembicara Astrid Reza, Margareth Ratih Fernandez dan Amanatia Junda, serta dipandu oleh Putu Sridiniari. Astrid yang bekerja di RUAS (Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan) membagi telaahnya atas sejarah gerakan perempuan Indonesia dalam gerakan aktivisme transnasional, khususnya pengalaman di dekade 1950an. Sedangkan Margareth dan Amanatia dari Perkawanan Perempuan Menulis (PPM), menyampaikan pengalaman kerja mereka dalam membangun literasi dan kekaryaan mengusung perspektif dan pengalaman perempuan. Diskusi sesi akhir ini kian impresif, ketika tiga pembicara memberikan “closing statement” dengan membacakan puisi Sugiarti Siswadi secara estafet. 

Kehangatan Hari Kedua dan Sebuah Rekomendasi Kritis 

Kala hari kedua, simposium terbagi dalam empat sesi. Dalam sesi pertama, Amos, Ken Miryam Vivekananda dan Jean-Pascal Elbaz menelanjangi persoalan tema nomor empat, dengan Suwarno Wisetrotomo yang memoderatori jalannya silang pemaparan. Amos tampak bersemangat menyampaikan pelacakan sejarah genosida VOC terhadap pulau Banda, yang tercermin dalam tarian Onatani Sarawandan. Sementara Ken menawarkan “Malay as Method” sebagai upaya konstruksi identitas kaum muda di Sumatra Timut, khususnya melalui media sosial dan internet. Selanjutnya Elbaz yang mengajukan tafsirannya bahwa Louis Charles Damais, Claire Holt dan Étiennette Bénichou merupakan Indonesianis yang berpihak kepada Indonesia. Bagi Elbaz, ketiganya telah berhasil menemukan ruang negosiasi, area untuk agensi, dan mengungkapkan wacana perlawanan/resistensi. Hal ini dibantah oleh Kelana Wisnu, yang meragukan keberpihakan Claire Holt, mengingat posisinya yang sempat menjadi agen CIA.

Menjelang sesi kedua, Dr. Mitha Budhyarto kembali hadir memoderatori paparan David Hutama dan Raden Roro Hendarti. Kedua pembicara tampak saling melengkapi di dalam mengusung tema nomor kelima. David menunjukkan beberapa cacat modernitas, termasuk dalam obsesinya mendidik manusia secara kuantitatif, terbukti terus merendahkan kualitas dan terjebak dalam apa yang diistilahkannya sebagai “imposisi epistemic”. Oleh sebabnya, David menekankan pendidikan berbasis pengetahuan “Metis” yang berpijak pada keunikan individual dan praktik. Lalu Roro yang menyampaikan praksis pengalaman aktivisme lingkungannya dengan gerakan literasi untuk warga, hingga pembuatan bank sampah bersama.

Ketika memasuki sesi ketiga, Hendra Himawan memandu tema nomor keenam yang dipantik oleh Bayu Genia Krishbie, Dhianita Kusuma Pertiwi dan Kelana Wisnu. Bayu memulai dengan menjelaskan pentingnya upaya ‘Pameran Seni Rupa Kontemporer Negara-negara Non Blok’ di tahun 1995. Sementara Dhianita mendedahkan kajiannya atas arah diplomasi budaya di Indonesia. Kelana menutup sesi ketiga dengan menegaskan pentingnya pemikiran ‘humanisme pasca-kolonial’ yang muncul dalam dalam solidaritas transnasional para sastrawan, khususnya di era 1950-an. 

Akhirnya di sesi keempat menyajikan tema nomor ketujuh, yang berlangsung hangat dengan durasi ekstra. Aditya Dipta Anindita (Indit) dari Sokola Rimba, dan Dicky Takndare dari Udeido Collective, ditemani Titah Asmaning Winedar selaku moderator, berupaya membabar pengalaman dari dua wilayah. Indit mengawali dengan mengurai pengalamannya berkerja untuk sokola rimba, persis di wilayah hidup orang rimba atau suku anak dalam di Jambi. Indit juga menunjukkan bahwa suku anak dalam atau orang rimba, sangatlah kaya akan pengetahuan tersendiri dan selalu fleksibel dengan perubahan. 

Ironisnya kapitalisme melalui pembangunanisme yang digadang pemerintah maupun perambahan perkebunan sawit, senantiasa menyudutkan dan mendiskreditkan orang rimba. Sehingga selalu muncul dalih “memodernkan” orang rimba, oleh sebab kesalahpahaman akibat kesenjangan pengetahuan antara mereka yang dididik dalam masyarakat adat, dengan yang dididik dalam dunia dan sekolah modern.

Kendati lebih banyak dihadiri para mahasiswa dan peneliti daripada seniman-seniman, simposium ini tampak berjalan dengan lancar. Salah satu yang sangat membekas bagi saya adalah pernyataan dari Dicky Takndari jelang akhir sesi keempat. Sembari berdiri, Dicky menyampaikan pernyataan bak manifesto, yang dijuduli sebagai “REKOMENDASI”, sebagai berikut: 

“Udeido Collective merekomendasikan segenap praktisi seni atau kuratorial terkhusus dalam institusi-institusi akademik di Indonesia untuk meninjau kembali percakapan-percakapan/kurikulum terkait sejarah praktik kuratorial di Indonesia; dan mulai memberikan tempat bagi narasi-narasi serupa yang sesungguhnya terluput dari penulisan sejarah praktek kuratorial yang bersifat hegemonis dan terpusat; yang selama ini mewarnai seni rupa Indonesia, Asia, maupun Pasifik.

Reformasi ini akan melahirkan pandangan yang lebih komprehensif tentang pemetaan praktik seni rupa di Indonesia, Asia, maupun Pasifik; dan membuka sebuah alternatif ruang dialog yang sangat sangat dibutuhkan untuk mengurai berbagai permasalahan sosial politik, khususnya di wilayah konflik seperti Papua Barat.”

Simposium kuat akar, kuat tanah pun berakhir dalam petang sesudah maghrib. Setelah dua hari tenggelam dalam lalu lintas pemaparan, kami melebur dalam kemeriahan sesi foto bersama seluruh peserta, di tengah putaran lagu nyanyian sendu dari Mambesak, hingga pesta kecil ulang tahun seorang panitia. Kami semua pulang mengantongi pengalaman lintas rumpun gagasan dan sejumput tujuan cemerlang ke depan. Semoga!